Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasokan Baja Dunia Terancam Perang Rusia vs Ukraina, Bagaimana Nasib Indonesia?

Pasokan komoditas baja di dunia terancam terganggu akibat perang Rusia vs Ukraina. Lantas, bagaimana nasib Indonesia?
Roll forming adalah proses pengrolan dingin dengan tujuan pembentukan suatu profil baja (lapis paduan zinc atau zinc & aluminium atau zinc, aluminium, dan magnesium) menjadi produk akhir seperti atap gelombang, genteng metal, rangka atap, rangka plafon dan dinding. /ARFI
Roll forming adalah proses pengrolan dingin dengan tujuan pembentukan suatu profil baja (lapis paduan zinc atau zinc & aluminium atau zinc, aluminium, dan magnesium) menjadi produk akhir seperti atap gelombang, genteng metal, rangka atap, rangka plafon dan dinding. /ARFI

Bisnis.com, JAKARTA - Perang Rusia vs Ukraina memantik berbagai konsekuensi bagi industri baja, terutama gangguan rantai pasok yang berakibat pada peningkatan harga baja dan logam di dunia. Lantas, bagaimana nasib Indonesia?

Ukraina adalah produsen baja terbesar ke-14 dunia yang menghasilkan 21,4 juta metrik ton baja pada 2021, dimana 80 persen diantaranya diekspor ke berbagai negara.

Selain itu, Ukraina juga merupakan pengekspor bijih besi terbesar kelima di dunia berdasarkan volume. Negara itu mengekspor 44,4 metrik ton produk bijih besi pada 2021. Di sisi lain, Rusia adalah produsen baja terbesar kelima di dunia, dengan produksi 76 metrik ton pada 2021.

Dilansir Institut Besi dan Baja Asia Tenggara (South East Asia Iron and Steel Institute/SEAISI), Minggu (13/3/2022), sejak perang dimulai, hampir semua produksi baja di Ukraina telah berhenti, demikian juga sebagian besar pengangkutan produk bajanya ke negara lain.

Hal ini diperparah dengan pembatasan akses pengiriman untuk produk Rusia dan Ukraina dari Laut Hitam yang dilakukan oleh Turki per 28 Februari 2022. Analis baja terkemuka menyatakan bahwa Ukraina tidak dalam posisi untuk memasok dan Rusia kemungkinan besar tidak akan diizinkan untuk memasok.

Hal ini akan mengakibatkan menurunnya ketersediaan bahan di negara tujuan yang mempengaruhi pengguna akhir dan produsen baja. Dari segi harga, dampaknya sudah terlihat karena pembeli mencari produk yang semakin langka di tempat lain.

Rusia dan Ukraina merupakan eksportir utama baja setengah jadi dalam bentuk slab dan billet. Tergantung pada harga, produsen baja skala kecil sebenarnya dapat memilih antara menggunakan billet atau scrap. Dengan demikian, kekurangan pasokan billet ini berimbas pada harga scrap yang meningkat dengan cepat.

London Metal Exchange melaporkan harga scrap baja Turki naik dari US$504 per ton pada 23 Februari menjadi US$595 per ton pada 1 Maret 2022. Pada periode yang sama, harga rebar Turki naik dari US$740 per ton menjadi US$845 per ton.

Sementara itu, harga hot rolled coil (HRC) di Amerika Utara melonjak dari US$1.002 per ton pada 25 Februari menjadi US$1.207 beberapa hari setelah konflik Rusia dan Ukraina benar-benar terjadi. Lonjakan harga berbagai produk baja ini diperkirakan akan segera meluas ke seluruh negara di dunia.

Sementara itu, ketersediaan slab dari Rusia dan Ukraina yang sebelumnya sudah sangat terbatas dalam beberapa bulan terakhir, kini menjadi ketiadaan mutlak sejak invasi. Hal ini melumpuhkan perdagangan di Kawasan Commonwealth Independent State (CIS) dan menyebabkan sanksi luas terhadap Rusia.

Langkanya bahan mengakibatkan CIS menaikkan harga karena tingginya permintaan dari Turki dan Eropa. Produsen baja kini mulai mencari alternatif pasokan di luar CIS, seperti Brazil dan kawasan Asia.

Pasar melaporkan bahwa produsen Italia memesan slab dari Indonesia sebanyak 30.000 ton lot dengan harga US$850 per ton cost and freight (cfr) Italia dan 60.000 ton lot seharga US$900 per ton cfr dalam seminggu.

Namun demikian, Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) masih enggan angkat bicara seputar dampak konflik Rusia-Ukraina ke industri baja nasional.

"No comment dulu," kata Ketua Cluster Flat Product IISIA Melati Sarnita saat dikonfirmasi Bisnis, belum lama ini.

Selain itu, Iran juga diprediksi dapat mengisi volume pasokan di wilayah Turki. Namun demikian, proses tersebut diperkirakan akan memakan waktu.

Secara realistis, diperkirakan hanya China yang dapat menggantikan volume pasokan CIS yang hilang. Namun demikian, hal ini bergantung pada sikap China terhadap harga dan isu lingkungan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper