Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Keuntungan Perusahaan Tambang Global Teratas Ini Tercekik

Lima perusahaan tambang diversifikasi teratas di negara barat, termasuk Rio Tinto Group, Vale SA dan BHP Group Ltd., pendapatan ketiganya setelah dikombinasi mencapai US$73 miliar pada semester II/2021.
Tambang Emas Toka Tindung milik Archi Indonesia, Sulawesi Utara/Dok.Perusahaan.
Tambang Emas Toka Tindung milik Archi Indonesia, Sulawesi Utara/Dok.Perusahaan.

Bisnis.com, JAKARTA - Profit perusahaan tambang bakal kian tergerus lantaran adanya tekanan harga dan lambatnya pertumbuhan di China.

Dilansir Bloomberg, pada Minggu (13/2/2022), analis memprediksi lima perusahaan tambang diversifikasi teratas di negara barat, termasuk Rio Tinto Group, Vale SA dan BHP Group Ltd., bahwa pendapatan ketiganya setelah dikombinasi mencapai US$73 miliar pada semester II/2021.

Angka itu turun dibandingkan dengan paruh pertama senilai US$82 miliar. Meskipun kenaikan harga logam dapat memacu keuntungan perusahaan, hambatan di sektor ini menjadi faktor utama penurunan prospek.

"Dengan keuntungan yang mereka nikmati, mereka memberikan penghargaan kepada pemegang sama dengan dividen daripada menggunakannya untuk ekspansi," kata David Bassanese, Kepala Ekonom Manajer Dana BetaShares di Sydney.

Hal itu, katanya, menunjukkan bahwa tidak adanya keyakinan untuk jangka panjang, utamanya dipicu oleh ketidakpastian tentang China.

Ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi pada konsumen logam terbesar di dunia menjadi awan hitam bagi prospek industri tambang, terutama bisnis bijih besi.

Pasar properti China yang berkontribusi hingga sepertiga industri bajanya itu mulai mendingin. Bloomberg Intelligence memperkirakan pasar rumah baru akan menurun hingga 5 persen pada tahun ini.

Pertaruhan Beijing untuk mencapai nol kasus Covid adalah faktor X yang meresahkan para eksekutif perusahaan sumber daya alam.

BHP dan Rio Tinto Group mengungkapkan tengah menghadapi kekurangan tenaga kerja pada bagian kunci sehingga berdampak pada operasional mereka.

Sementara itu, raksasa tambang nomor empat di dunia asal Australia, Fortescue Metals Group Ltd., melaporkan bahwa beban biaya naik hingga 20 persen dalam 12 bulan terakhir akibat kenaikan harga bahan bakar dan kekurangan tenaga kerja.

Adapun Vale diperkirakan sudah bisa mengimbangi harga bijih besi yang bergejolak dengan menjual cadangannya dan menurunkan biaya pada kuartal terakhir.

Kendati demikian, pasar akan mewaspadai potensi meningkatnya persediaan untuk tindakan perbaikan setelah bencana bendungan Samarco di Brasil.

Perusahaan Brasil ini masih mengupayakan untuk mengembalikan divisi logamnya kembali ke jalur setelah aksi mogok kerja dan insiden terjebaknya pekerja Vale di sebuah tambang di Kanada. Hal itu memengaruhi produksi nikel dan tembaga pada kuartal III/2022.

Penambang bijih besi telah mengalami gejolak pada paruh kedua tahun 2021. Harga turun dari puncak di utara hingga US$230 per ton pada Mei lalu terperosok menjadi sekitar US$80 pada November setelah China memperketat pembatasan produksi baja untuk memenuhi standar lingkungan yang lebih ketat.

Harga terus reli di tengah ekspektasi rebound pada output baja setelah Beijing melonggarkan target iklim. Namun volatilitas harga tetap menjadi risiko untuk prospek pendapatan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nindya Aldila
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper