Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan harga pupuk non-subsidi bakal mengalami kenaikan sepanjang tahun 2022 akibat melonjaknya harga bahan baku di tingkat global. Kenaikan harga pupuk itu belakangan ikut andil memengaruhi inflasi pada komoditas pangan awal tahun ini.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim mengatakan kementeriannya tengah berkoordinasi dengan produsen pupuk dalam negeri untuk menjaga harga pupuk non-subsidi tetap stabil di tengah gejolak harga dunia. Isy Karim menargetkan produsen dalam negeri dapat memberikan harga di bawah harga internasional untuk menjaga akses pupuk bagi petani.
“Kenaikan harga pupuk non-subsidi disebabkan oleh melonjaknya harga berbagai komoditas dunia seperti amonia, phosphate rock, KCL, gas dan minyak bumi karena pandemi, krisis energi di Eropa serta adanya kebijakan beberapa negara yang menghentikan ekspornya,” kata Isy Karim melalui pesan WhatsApps, Minggu (9/1/2022).
Berdasarkan data World Bank-Commodity Market Review per 4 Januari 2022, Pupuk Urea dan diamonium fosfat (DAP) mengalami kenaikan yang signifikan. Sepanjang Januari hingga Desember 2021 misalnya, harga diamonium fosfat (DAP) di pasar internasional mengalami kenaikan sebesar 76,95 persen. Saat awal tahun lalu, harga pupuk itu mencapai US$421 per ton, pencatat itu berakhir di posisi US$745 per ton pada Desember 2021.
Di sisi lain, Pupuk Urea mengalami peningkatan harga mencapai 235,85 persen sepanjang tahun lalu. Pupuk Urea sempat berada di harga US$265 per ton belakangan naik menjadi US$890 per ton pada Desember 2021.
“Meskipun terjadi sedikit penurunan pada pupuk Urea pada periode Desember 2021 sebesar 1,11 persen dibandingkan November 2021, namun kenaikan masih terjadi pada diamonium fosfat (DAP) sehingga diperkirakan pupuk NPK masih akan terus mengalami kenaikan sepanjang 2022,” kata dia.
Baca Juga
Sebelumnya, Serikat Petani Indonesia (SPI) melaporkan harga pupuk non-subsidi mengalami kenaikan hingga 100 persen pada pekan pertama Januari 2022. Tren kenaikan harga pupuk non-subsidi itu sudah berlangsung sejak Oktober 2021.
Ketua Pusat Perbenihan Nasional (P2N) SPI Kusnan mengatakan kenaikan harga pupuk non-subsidi itu turut mengoreksi pendapatan petani secara nasional. Konsekuensinya, nilai tukar petani atau NTP untuk tahun 2021 masih berada di bawah standar impas.
“Harga pupuk non-subsidi sekarang naiknya tidak wajar sampai 100 persen yang awalnya pada 2020 akhir harganya hanya Rp280.000 per sak [50 kilogram] pupuk Urea, tapi sekarang sampai Rp500.000 per sak bahkan di luar Jawa tembus Rp600.000,” kata Kusnan melalui sambungan telepon, Minggu (9/1/2022).
Berdasarkan catatan SPI hingga pekan pertama Januari 2022, harga pupuk Urea sudah mencapai Rp560.000 per sak. Saat situasi normal harga pupuk itu berada di posisi Rp265.000 hingga Rp285.000 per sak. Hanya saja sejak Oktober hingga November 2021, harga pupuk itu mengalami kenaikan menjadi Rp380.000. Kenaikan harga itu berlanjut pada Desember 2021 mencapai Rp480.000 hingga Rp500.000.
Selain itu, catatan SPI menunjukkan, harga pupuk NPK juga mengalami kenaikan yang signifikan. Misalkan, NPK Mutiara mengalami kenaikan harga mencapai Rp600.000 per sak dari harga sebelumnya di posisi Rp400.000 per 50 kilogram. Sementara NPK Phonska mengalami kenaikan menjadi Rp260.000 per sak [25 kilogram] dari harga awal Rp170.000 per sak.
“Sedangkan harga komoditas, misalkan padi, tidak kunjung baik bahkan beras di tingkat penggilingan masih Rp8.000, kalau petani jual rugi lah, tidak impas tidak dapat apa-apa, tapi komoditas jagung, petani masih dapat karena harga jual lumayan,” kata dia.