Bisnis.com, JAKARTA – Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan industri manufaktur hanya mampu tumbuh 4,1 persen sampai 4,2 persen pada 2022. Hal itu dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indef di angka 4,3 persen.
Namun demikian, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan angka proyeksi itu berpeluang naik jika sepanjang semester I/2022 tidak ada guncangan yang berarti bagi industri.
Mahalnya ongkos pengapalan yang menyebabkan terkereknya harga bahan baku, serta kenaikan biaya energi, masih akan terus memberikan tekanan terhadap produksi dan harga jual.
Selain itu, meski daya beli masyarakat sudah mulai menunjukkan pemulihan, perubahan perilaku konsumsi menyebabkan tidak semua industri dapat kembali berkinerja optimal.
"Masih ada persoalan supply shock, diprediksi setidaknya di akhir semester 1 baru bisa berjalan normal. Ini memberikan pengaruh kepada industri mendapatkan bahan baku yang jauh lebih terjangkau," kata Andry kepada Bisnis, belum lama ini.
Selain itu, Andry juga memandang perlunya pemerintah menyusun peta jalan untuk mencapai target substitusi impor 35 persen pada 2022. Menurutnya angka tersebut cukup ambisius mempertimbangkan kemampuan industri bahan baku dalam negeri yang masih terbatas.
Upaya tersebut juga membutuhkan investasi besar dengan jangka waktu yang tidak seperti membalikkan telapak tangan. Seiring dengan upaya jangka panjang substitusi impor, dia mendorong pemerintah juga melakukan penguatan pada struktur industri tertentu.
"Kita kuasai saja apa yang kita punya kekuatan, misalnya di industri intermediate, ya kuatkan disitu. Atau di end product, kita kuatkan industri hilirnya," kata Andry.
Sebelumnya diketahui, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan 4,5 persen hingga 5 persen pada tahun ini. Adapun, pertumbuhan industri pada 2021 diprediksi sebesar 4 persen hingga 4,5 persen.