Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebut masih kurang berkomitmen dalam pengembangan energi baru terbarukan seiring dengan lambatnya pengesahan Peraturan Presiden terkait tarif pembelian tenaga listrik bersumber dari energi baru terbarukan (EBT).
Rencana penerbitan beleid tersebut telah berulang kali terjadi. Pada tahun ini, setidaknya pemerintah beberapa kali pemerintah memasang targeg penerbitan regulasi ini. Mulai dari awal 2021, tengah tahun hingga akhir tahun ini. Namun demikian, aturan tersebut belum juga sampai di meja Presiden.
"Perpres EBT masih terkendala. Sudah 2 tahun prosesnya. Saya berpandangan keterlambatan ini menunjukan bahwa Presiden Jokowi masih kurang berkomitmen memajukan energi terbarukan," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa kepada Bisnis, Kamis (23/12/2021).
Menurutnya, kondisi ini disebabkan cara pandang pemerintah terhadap mahalnya pembangkit energi terbarukan. Hal itu tercermin dari sikap Kementerian Keuangan yang menilai skema feed in tariff [FiT] dapat menyebabkan beban fiskal APBN dan PLN.
"Menurut hemat saya, FiT adalah kebijakan standar yang dipakai di banyak negara untuk promosi ET. Apalagi FiT di Perpres tersebut dibatasi untuk pembangkit skala kecil <5MW. Pembangkit ET dengan FiT bisa lebih murah dari PLTD bahkan BPP wilayah atau sub-wilayah," terangnya.
Fabby menduga, skema ini juga ditolak oleh PLN. Pasalnya perusahaan listrik itu telah merencanakan program didieselisasi dan memulai tender pada tahun depan. Langkah ini diharapkan memberi harga listrik lebih rendah daripada skema FiT.
Baca Juga
IESR menyarankan agar analisa soal harga energi terbarukan dan dampak pada biaya pokok produksi lisyrindilakukan dalam kajian tarif jangka panjang.
"AESI berharap agar Perpres ini disahkan segera di Januari 2022. Penundaan Perpres ini membuat ketidakpastian investasi ET dan ini menghambat percepatan transisi energi bersih di Indonesia," ujarnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana memastikan regulasi ini masih diproses.
"Masih proses dengan Kementerian Keuangan," katanya kepada Bisnis, Senin (20/12/2012).
Adapun Perpres EBT ini disebut-sebut akan menjadi acuan bagi dunia usaha dan pemerintah dalam mengatur kebijakan terkait energi terbarukan. Beberapa di antaranya mengenai harga listrik EBT termasuk kontrak jual beli listrik dari independent power producer (IPP).
Senada, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya menyebut proses penyelesaian beleid ini masih terus digodok oleh pemerintah.
Meski demikian dia mengaku optimis Perpres terkait EBT akan diteken Presiden Joko Widodo sebelum pergantian tahun. "Kami masih optimis dan berharap dapat terbit tahun ini," katanya kepada Bisnis.