Bisnis.com, JAKARTA - Rupee India menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia seiring dengan keluarnya dana asing dari pasar saham di negara tersebut.
Dilansir Bloomberg pada Selasa (21/12/2021), rupee anjlok hingga 1,9 persen pada kuartal IV/2021 seiring dengan penarikan dana asing dari pasar modal hingga US$4,2 miliar.
Investor asing menjual saham India seiring dengan pemangkasan proyeksi dari Goldman Sachs Group Inc., dan Nomura Holdings Inc., karena kemunculan varian omicron.
Defisit perdagangan yang tinggi mencapai rekor dan perbedaan kebijakan bank sentral dengan Federal Reserve (The Fed) juga telah memengaruhi daya tarik rupee.
"Perbedaan kebijakan moneter dan melebarnya transaksi berjalan telah menyebabkan depresiasi rupee dalam jangka pendek," kata Kepala Pasar, Penjualan, Perdagangan, dan Penelitian Global ICICI Bank Ltd., di Mumbai B. Prasanna seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (21/12/2021).
Depresiasi rupee adalah pedang bermata dua bagi Reserve Bank of India (RBI). Mata uang yang tengah lemah dapat mendukung ekspor di tengah pemulihan ekonomi setelah tsunami Covid-19.
Namun, pada saat yang sama, kondisi itu juga menimbulkan risiko inflasi impor sehingga mempersulit bank sentral untuk mempertahankan suku bunga rendah lebih lama.
QuantArt Market Solutions memproyeksikan rupee akan jatuh menjadi 78 per dolar AS hingga akhir Maret, mendekati level terparah pada April 2020 senilai 76,9 per dolar AS.
Sementara itu, survei Bloomberg terhadap para pedagang dan analis memperkirakan rupee di level 76,50 dan akan turun sekitar 4 persen pada tahun ini dalam kerugian tahun keempat berturut-turut.
Saham Semakin Terpojok
Eksodus dana asing dari pasar saham telah menyebabkan indeks acuan S&P BSE Sensex turun sekitar 10 persen di bawah level tertinggi sepanjang masa pada Oktober.
Meskipun demikian, rasio harga berjangka terhadap pendapatan satu tahun pada indeks Sensex mendekati 21, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 12 pada Indeks Pasar Berkembang MSCI. Artinya, ada ruang bagi ekuitas untuk jatuh lebih jauh. Obligasi telah melihat aliran keluar US$587 juta pada kuartal ini.
Pesimisme pada rupee meningkat setelah defisit perdagangan India melebar ke level tertinggi sepanjang masa sekitar US$23 miliar November.
Namun, Goldmanc Sachs menilai likuiditas yang besar dalam sistem perbankan yang sebagian dikontribusi oleh pembelian dolar oleh RBI, dapat menyulitkan bank sentral untuk melakukan intervensi pada tingkat yang sama pada 2022 untuk menahan kerugian rupee.
Kendati demikian, tidak semua analis pesimistis. UBS AG meyakini potensi kembalinya dana asing yang masuk pada kuartal mendatang karena penjualan saham di sejumlah korporasi termasuk Life Insurance Corp., yang disebut sebagai penawaran umum perdana terbesar di India, dapat melindungi rupee.
Nilai tukar rupee naik 0,4 persen pada Selasa menjadi 75,63 per dolar AS. "[Di luar lonjakan sementara dolar/rupee yang diperkirakan dalam empat hingga enam minggu ke depan], kami melihat arus satu kali dan musiman neraca berjalan kuartal 1 yang akan berpengaruh,” kata Ahli Strategi Pasar Berkembang Asia UBS Rohit Arora.
Menurutnya, selama minyak tetap jinak, rupee akan mengakhiri tahun fiskal di bawah level saat ini mungkin berkisar 74-75 per dolar AS.