Bisnis.com, JAKARTA - Harga material logam untuk pembuatan baterai kendaraan listrik bakal semakin tinggi pada tahun depan sehingga bakal membebani produsen dan memperlambat pencapaian target perubahan iklim.
Dilansir Bloomberg pada Senin (20/12/2021), logam baterai berada dalam pergolakan yang belum pernah terjadi sebelumnya karena target pengurangan pemanasan global telah memicu permintaan sejumlah material seperti lithium, kobalt, dan nikel. Namun, pasokan semakin terbatas dan diperburuk oleh pandemi.
Dikhawatirkan, biaya pembuatan baterai akan semakin meningkat dan menunda adopsi pemakaian mobil listrik secara luas. Varian omicron juga semakin memperumit masalah.
Kepala Logam dan Pertambangan BloombergNEF Kwasi Ampofo mengatakan varian Covid-19 baru telah berdampak pada proses pemulihan global.
“Kami berharap kendala rantai pasokan yang berdampak pada pergerakan material tahun ini tetap baik hingga 2022, ujarnya.
Menurutnya, harga lithium, grafit dan kobalt kemungkinan akan tetap tinggi. Penurunan harga diperkirakan baru akan terjadi pada 2023, meskipun nikel dapat mengalami penurunan harga pada paruh kedua tahun depan.
Baca Juga
Indeks harga lithium telah naik 3 kali lipat pada tahun ini. Produsen China Chengxin Lithium Group memperkirakan harga akan tetap tinggi untuk sementara waktu akibat konsumsi hilir yang tinggi dan kendala dalam kapasitas produksi air asin dan pasokan spodumene.
"Sulit untuk melihat perubahan material dalam ketatnya pasar global dalam jangka pendek," kata perusahaan itu dalam tanggapan tertulis kepada Bloomberg News.
Padahal, permintaan mobil listrik jangka panjang menjadi pertanda baik untuk material yang digunakan di hampir semua baterai EV. Penjualan mobil listrik penumpang diproyeksikan melonjak dari 3 juta pada 2020 menjadi 66 juta pada 2040, menurut Skenario Transisi Ekonomi BloombergNEF.
"Kami memperkirakan harga lithium rata-rata global akan terus meningkat selama beberapa tahun ke depan karena harga kontrak mulai mengejar dan karena pasokan terus-terusan tidak dapat memenuhi permintaan," kata Cameron Perks, analis Benchmark Mineral Intelligence.
Sementara itu, harga kobalt telah meningkat dua kali lipat pada tahun ini. Gangguan suplai di Afrika Selatan dan risiko omicron menjadi tantangan bagi logistik. Namun, prospeknya tidak semuanya bullish.
"Sisi pasokan telah meningkatkan kapasitas produksi kobalt dan itu bisa beroperasi tahun depan," kata Manajer Umum Trader Shanghai Qin Cobalt Industrial Co., Wang Wentao.
Adapun nikel telah melonjak sekitar 17 persen tahun ini, tetapi ekspansi pasokan yang agresif dari Indonesia dapat membuat pasar menajdi surplus pada 2022, menurut S&P Global Market Intelligence.
Harga sempat terpukul pada awal Desember setelah Tsingshan Holding Group Co., mengatakan pihaknya mengoperasikan lini produksi pertamanya untuk nikel matte, produk antara yang dapat diproses menjadi bahan kimia untuk baterai.
Harga grafit telah naik tajam sejak September di tengah pembatasan listrik di China, produsen bahan anoda terbesar di dunia.
“Dengan perkiraan peningkatan permintaan listrik pada musim dingin ini, pasokan listrik mungkin terbatas, dan oleh karena itu produksi grafit serpihan mungkin tidak sepenuhnya pulih hingga paruh pertama tahun 2022,” menurut laporan BNEF.