Bisnis.com, JAKARTA — Deputi Direktur Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Eko Listiyanto mengatakan program vaksin booster berbayar dapat dijalankan ketika pandemi Covid-19 relatif terkendali dan mayoritas masyarakat sudah tervaksinasi dosis pertama atau kedua.
Konteks itu, kata Eko, dapat melegitimasi peralihan dari vaksin yang gratis menuju vaksin berbayar yang diserahkan kepada perusahaan farmasi swasta. Peralihan itu dapat dilakukan ketika situasi pandemi dalam negeri relatif terkendali.
“Untuk kedepannya pasti akan ada transisi yang tadi semuanya harus gratis kepada yang sesuai kebutuhan dan daya beli mereka ini yang perlu disiapkan dari sekarang,” kata Eko dalam acara IDX Channel, Rabu (15/12/2021).
Eko mengatakan kebutuhan vaksin berbayar yang mengikuti kemampuan daya beli masyarakat itu bakal dibutuhkan ketika sejumlah negara mewajibkan jenis vaksin tertentu untuk keperluan kerja atau perjalanan luar negeri.
“Bagi masyarakat kelas menengah ke atas yang memerlukan itu tidak masalah saya rasa tapi dosis pertama itu tetap harus mencapai masyarakat yang belum tervaksinasi di daerah-daerah,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberi wewenang kepada perusahaan farmasi swasta untuk mengimpor vaksin booster menyusul rencana pemberian vaksin dosis ketiga kepada masyarakat tahun depan. Rencananya program vaksin booster itu bakal dimulai pada Januari 2021.
Baca Juga
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kebutuhan vaksin booster itu mencapai 231,4 juta dosis yang akan disuntikan kepada 208,3 juta jiwa. Budi mengatakan pemerintah hanya akan menanggung pengadaan vaksin sebanyak 92,4 juta dosis lewat alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN.
Pengadaan dosis vaksin lewat APBN itu diberikan kepada kelompok masyarakat lanjut usia atau Lansia sebesar 21,5 juta jiwa dan penerima bantuan iuran atau PBI non-Lansia yang mencapai 61,6 juta jiwa.
“Untuk vaksinasi Lansia dan PBI non-Lansia itu akan ditanggung oleh negara, sedangkan yang mandiri dan non-Lansia kita akan buka agar perusahaan-perusahaan farmasi bisa mengimpor vaksinnya dan langsung dijual ke masyarakat,” kata Budi saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR, Selasa (14/12/2021).
Ihwal pelibatan perusahaan swasta itu, Budi berharap, langkah itu dapat memberi keseimbangan suplai dan harga di pasar nantinya. Di sisi lain, masyarakat dinilai dapat memperoleh sejumlah jenis vaksin yang bervariasi.
Kendati demikian, dia memastikan, seluruh vaksin yang bakal digunakan untuk program booster itu mesti mendapat persetujuan dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO dan izin penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah mendapat persetujuan dan izin dari WHO dan BPOM, vaksin booster itu mesti memperoleh rekomendasi penggunaan dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
“Proses perizinan di WHO, BPOM dan ITAGI masih bergerak karena penelitian mengenai booster ini masih berjalan tetapi kalau ada vaksin-vaksin yang ingin masuk sebagai booster mereka harus uji klinis dan mendapatkan persetujuan,” tuturnya.
Adapun harga eceran tertinggi atau HET ihwal vaksin booster itu bakal diatur lewat Peraturan Menteri Kesehatan atau Permenkes yang masih disiapkan menyusul izin impor bagi perusahan farmasi swasta tersebut.