Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengusulkan pemerintah untuk membuat aturan baru ataupun melakukan revisi tentang tata niaga nikel. Sejumlah persoalan di sektor hulu nikel disebut menjadi alasan.
Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 11/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 7/2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
Permen tersebut ditetapkan tanggal 13 April 2020 dan diundangkan pada 14 April 2020. Tetapi, dalam pelaksanaannya tidak sesuai ketentuan yang ada. Terlebih sejak smelter lokal berdiri di Indonesia
“Kami, para penambang, merasa kecewa. Karena harga yang dipatok pembeli, dalam hal ini pihak smelter masih terlalu jauh dari harga produksi,” kata Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey dalam keterangan resmi dikutip Kamis (9/12/2021).
Adapun terkait harga patokan mineral (HMP) Kemenko Marves telah membentuk tim satuan tugas untuk mengawasi pelaksanaan HMP di lapangan pada 13 Agustus 2020. Meski begitu belum ada hasil signifikan terhadap kebijakan ini.
Selain itu, para penambang umumnya tidak langsung menjual ke pabrik atau smelter. Mereka harus melalui beberapa trader, baik trader tengah maupun trader ujung. Trader ujung kerap berada di bawah afiliasi smelter.
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa trader tengah kebanyakan menalangi terlebih dahulu pembelian bijih nikel secara free on board (FOB) dengan pembayaran 80 persen. Akan tetapi, harga nikel umumnya ditekan oleh trader tengah. Sisa pembayaran 20 persen menunggu hasil analisa akhir pihak pembeli atau pihak smelter.
“Dalam dunia perdagangan bijih nikel, tidak pernah menggunakan metode FOB, tetapi dengan CIF [cost, insurance, and freight],” ujar Meidy.
Sementara itu, para penambang juga harus memenuhi ketentuan Permen ESDM No 11/2020. Mereka berkewajiban membayar PNBP, royalty, dan PPh. Transaksi berdasarkan FOB mewajibkan penambang membayar PNBP, royalti dan PPh setelah ditentukan harga.
Sementara metode trading berbasis CIF disebut mengurangi HPM yang telah ditentukan. Beberapa trader menggunakan istilah HMP minus US$0 - US$3. Misalnya untuk nikel kadar 1,8 persen dengan kadar air 35 persen dihargai US$ 44 per ton.
Apabila melalui trader, maka HPM akan dikurangi antara US$1- US$3. Misalnya dipotong US$3, harga HPM yang diterima penambang hanya US$41 per ton bijih nikel.
Umumnya, penambang melakukan kontrak trading dengan smelter berbasis CIF. Pihak smelter hanya memberikan subsidi US$0-US$3 per ton. Sementara biaya untuk tongkang antara US$4 - US$12 per ton bijih nikel.
“Dengan harga tongkang yang harus kami bayarkan, berarti kami harus subsidi antara US$ 4- US$6.
Metode CIP membebankan penambang menanggung subsidi biaya pengiriman atau biaya tongkang. Selain itu, penambang juga harus menghadapi perbedaan hasil analisa kadar nikel dari petambang ke smelter.
“Faktanya, sekitar 90 persen. Selalu terjadi perbedaan analisa. Contohnya, hasil dari pelabuhan muat kadar nikelnya 1,8 persen, maka mau tidak mau berdasarkan analisa itulah yang harus kami bayarkan ke negara berdasarkan HPM, yaitu untuk membayar royalty maupun pph 1,5 persen,” terangnya.
Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula pada proses pembayaran. Smelter hanya akan membayar pembelian sesuai dengan analisa. Di sisi lain, dia juga menyinggng 11 perusahaan survei. Hasil analisa dari penambang maupun smelter kerap berbeda. Kondisi ini membuat para penambang menanggung kerugian.