Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani: Penurunan Emisi Karbon Sektor Energi Butuh Biaya Rp3.500 Triliun!

Penurunan emisi karbon 450 juta ton ekuivalen CO2 di sektor energi membutuhkan Rp3.500 triliun, sedangkan 700 juta ton ekuivalen CO2 di sektor kehutanan memerlukan Rp90 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kebutuhan biaya untuk menurunkan emisi karbon di sektor energi mencapai Rp3.500 triliun agar sesuai dengan target net zero emission.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dunia internasional menyepakati langkah untuk menurunkan emisi karbon dan menekan dampak perubahan iklim melalui Perjanjian Paris dan terbaru dalam Change Conference of the Parties (COP26). Disepakati sejumlah target penurunan emisi karbon hingga 2060 atau lebih awal.

Kementerian Keuangan melakukan perhitungan kebutuhan biaya untuk mencapai target penurunan emisi karbon tersebut di Indonesia. Menurut Sri Mulyani, berdasarkan temuan itu kebutuhan biaya terbesar berada di sektor energi, yang juga menyumbang karbondioksida (CO2) atau emisi karbon.

"Sektor energi itu bisa menurunkan tiga per empat atau 450 juta ton ekuivalen CO2. Biaya untuk menurunkan itu Rp3.500 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Pertamina Energy Webinar 2021, Selasa (7/12/2021).

Dia menjelaskan bahwa energi memang merupakan sektor yang sangat mahal dan memakan biaya dalam operasionalnya. Namun, sektor itu sangat penting bagi masyarakat dan peranannya vital dalam menurunkan emisi karbon di Indonesia.

Besarnya kebutuhan dana itu berasal dari berbagai faktor. Pertama, transisi menuju energi hijau akan membuat sejumlah pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara berhenti beroperasi, sehingga terdapat biaya untuk penghentiannya.

Lalu, terdapat biaya untuk membangun pembangkit listrik baru dengan sumber energi terbarukan. Menurut Sri Mulyani, terdapat biaya yang sangat besar di awal, meskipun dalam jangka panjang akan membawa manfaat yang sangat baik bagi Indonesia.

"Kalau kita lihat masih ada elemen risiko, seperti kalau eksplorasi tidak dapat [hasil untuk membangun pembangkit listrik di lokasi tersebut], di geothermal. Dari sisi tarifnya, juga tidak bisa one linier," ujarnya.

Hal ini, menurut Sri Mulyani, membutuhkan suatu pemikiran yang sangat detil.

"Bagaimana kita bisa establish, tidak hanya membangun renewable, tetapi kebijakan mengenai risiko, pentarifan, dalam jangka menengah panjang," ungkapnya.

Kebutuhan biaya di sektor energi cukup jauh dibandingkan dengan sektor lainnya. Misalnya, Sri Mulyani menyebutkan bahwa kebutuhan biaya sektor kehutanan dan penggunaan tanah untuk menurunkan 41 persen emisi karbon atau 700 juta ton ekuivalen CO2 adalah sekitar Rp90 triliun.

Dalam kesempatan lain, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan target Nationally Determined Contribution (NDC) penurunan emisi karbon hingga 29 persen secara nasional dari seluruh sektor. Untuk mencapai target itu, kebutuhan pembiayaan mencapai US$365 miliar, yang di antaranya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Selain itu, terdapat target pengurangan emisi karbon hingga 41 persen dengan pembiayaan dari dukungan internasional, yang harus tercapai pada 2030. Target yang lebih besar ini membuat kebutuhan investasinya turut melonjak, yakni mencapai US$475 miliar.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebutuhan biaya untuk mengurangi emisi karbon dan melakukan transisi energi adalah minimal US$5,7 miliar per tahun. Dia mengaku bahwa APBN tidak akan cukup untuk mencapai target net zero emission, oleh karena itu investasi dari sektor swasta, baik dari dalam maupun luar negeri akan sangat penting.

Hal tersebut membuat pemerintah mengembangkan blended finance agar sektor swasta, filantropi, institusi dapat berpartisipasi dalam pembiayaan energi berkelanjutan di Indonesia. Sri Mulyani pun membawa pembahasan itu dalam forum G20 agar menarik investor dari berbagai negara.

"[Salah satu poin dalam Perjanjian Paris] negara maju berjanji membayar US$100 miliar per tahun yang digunakan untuk membantu negara-negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi [dalam langkah penekanan dampak krisis iklim]. Sampai hari ini mereka tidak membayar. Ini jadinya [Perjanjian Paris] sudah mulai sejak kapan," ujar Sri Mulyani.

Menurutnya, transfer teknologi ke negara berkembang sangat penting dalam mendorong percepatan penanganan krisis iklim. Hal tersebut dapat terwujud salah satunya melalui penyaluran dana sesuai Perjanjian Paris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper