Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menegaskan empat negara European Free Trade Association (EFTA) yang meliputi Islandia, Liechtenstein, Norwegia dan Swiss menerima komoditas kelapa sawit Indonesia yang saat ini tengah mengalami diskriminasi dari Uni Eropa.
“Di EFTA itu salah satunya ada Swiss, kita memberikan pesan yang jelas kepada publik Eropa di mana salah satu produk kita kelapa sawit didiskriminasikan oleh Uni Eropa, kebetulan saya ketua delegasi yang menuntut Uni Eropa di WTO,” kata Jerry saat sosialisasi hasil perundingan perdagangan IK-CEPA yang disiarkan secara daring, Selasa (7/12/2021).
Jerry mengatakan negara kelompok EFTA itu terkenal kritis ihwal isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, kata dia, Uni Eropa mesti mesti meninjau ulang kebijakan diskriminatif yang diterapkan pada komoditas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) asal Indonesia.
“Uni Eropa harus melihat itu, di mana EFTA negara yang critical salah satunya Swiss menerima kita justru dan menyambut baik kerja sama melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement [CEPA]. Ini bukan soal komersial bisnis regional saja tetapi juga politik soal signifikansi Indonesia di mata dunia,” tuturnya.
Indonesia bersama Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss telah mengimplementasikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) atau IE-CEPA pada Senin (1/11/2021).
Data yang dihimpun Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa perdagangan Indonesia dengan EFTA masih didominasi Swiss. Sekitar 96 ekspor Indonesia ke EFTA yang setara dengan US$1,07 miliar selama Januari sampai Agustus 2021 masuk ke Swiss. Sementara 71 persen impor Indonesia dari EFTA juga berasal dari Swiss, nilainya mencapai US$358,9 juta.
Seperti diberitakan sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket mengatakan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada Juni 2021. Peninjauan ulang tersebut dengan melakukan penelitian ilmiah yang ekstensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal.
Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah.
RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung. Amandemen ini mengecualikan sawit karena dianggap beresiko tinggi menyebabkan deforestasi. Padahal penelitian Union of Conservation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.
“Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent saat mengisi materi webinar seperti dikutip dari keterangan pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Sabtu (3/4/2021).
Perundingan terus berlangsung, baik antar negara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerja sama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral serta mengharapkan adanya standar yang adil untuk semua minyak nabati.