Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti Indef

Bhima Yudhistira Adhinegara adalah Peneliti Indef (Institute for Development of Economics and Finance). Alumni Faktultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM)Yogyakarta ini meraih gelar Master in Finance dari Universitas Bradford Inggris.

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Agenda Besar Presidensi G20 Hadapi Krisis

Forum G20 mengambil tema Recover Together, Recover Stronger. Di satu sisi mencerminkan optimisme untuk keluar dari krisis.
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan secara virtual dalam Opening Ceremony Presidensi G20 Indonesia, Rabu (1/11/2021)./Kominfo-Amiri Yandi
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan secara virtual dalam Opening Ceremony Presidensi G20 Indonesia, Rabu (1/11/2021)./Kominfo-Amiri Yandi

Bisnis.com, JAKARTA - Pemulihan ekonomi tampaknya tidak berjalan di atas aspal yang halus. Setelah kasus Covid-19 menurun secara global, pemimpin negara-negara G20 berhadapan dengan beragam krisis baru.

Pengiriman logistik membutuhkan waktu yang lebih lama. Kenaikan permintaan bahan baku industri secara serempak menimbulkan inflasi dan gangguan di sepanjang rantai logistik.

Pada saat yang sama, muncul commodity bonanza yang baru terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, mengakhiri paceklik devisa ekspor negara penghasil komoditas. Namun efek inflasi yang terlalu tinggi tentu membahayakan perekonomian.

Bagi negara-negara G20 krisis adalah persoalan yang cukup serius dan tema besar pada pertemuan G20 pada 2022 cukup kontekstual. Forum G20 mengambil tema Recover Together, Recover Stronger. Di satu sisi mencerminkan optimisme untuk keluar dari krisis. Di sisi lain pemulihan di atas pijakan yang rapuh juga berisiko tinggi.

Masing-masing negara G20 pada faktanya memiliki agenda dan resep yang berbeda dalam mengatasi krisis. Mampukah Indonesia sebagai Presidensi G20 menyatukan resep-resep dari berbagai negara G20 dalam kerangka Recover Together?

Opsi mana yang paling mencerminkan pemulihan ekonomi bersama dan solid? Opsi yang win-win harusnya bertumpu pada kerja sama di bidang teknologi dan produk bernilai tambah. Bukan sekadar berharap pada berlanjutnya commodity bonanza. Pada saat krisis Subprime Mortgage 2008, topik digitalisasi belum menjadi mainstream. Saat ini digitalisasi menjadi arena baru bagi lompatan pertumbuhan ekonomi seusai pandemi.

Blessing in disguise dari krisis pandemi bukanlah booming komoditas tetapi booming digitalisasi. Adaptasi masyarakat dan pelaku usaha secara cepat di bidang teknologi digital sebaiknya dimanfaatkan untuk meningkatkan cross-border transaction via platform e-commerce.

Selain sebagai pasar yang besar bagi konsumen barang yang dibeli secara daring, Indonesia juga memiliki daya saing produk-produk industri unggulan yang bisa ditawarkan ke pasar ekspor khususnya ke negara G20.

Asas resiprokal juga berkaitan dengan kerja sama pengembangan pusat-pusat startup digital, pangkalan data, investasi di bidang kecerdasan buatan (AI), dan penelitian dengan anggota G20 potensial seperti AS, China, dan India.

G20 juga perlu fokus pada masalah uneven growth atau pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Misalnya sektor berbasis ekstraktif seperti pertambangan mengalami kenaikan fantastis tapi tidak diimbangi dengan pemulihan di sektor pariwisata.

Apakah perlu misalnya pembahasan stimulus khusus ke sektor utama pariwisata, transportasi hingga memperluas ide travel bubble? Selain tentunya kerja sama soal pasokan vaksin untuk menghadapi dampak gelombang ketiga Covid-19 yang menghambat pemulihan pariwisata.

Fenomena uneven growth juga bukan sekadar masalah gap pemulihan sektoral. Ketimpangan ekonomi yang melonjak antara orang kaya dan miskin selama masa pandemi juga perlu diantisipasi sebelum bertambah lebar. Formula mengatasi ketimpangan tidak sekedar membagi-bagikan stimulus berupa bantuan sosial tapi juga penciptaan lapangan kerja.

Di bidang perpajakan, komitmen G20 untuk menghentikan perlombaan diskon tarif pajak terendah untuk menarik investasi perlu didukung. Cara-cara lama seperti diskon pajak, bahkan pemerintah pernah terpikir untuk membuat sebuah ‘Pulau Surga Pajak’ (tax haven), harus dipendam dalam-dalam.

Saat ini era kebijakan pajak yang merata, setidaknya hasil kesepakatan G20 terkait pajak minimum 15 persen bagi perusahaan multinasional merupakan sebuah kemajuan. Progress terkait kerja sama perpajakan lintas negara G20 juga sedang dinantikan oleh berbagai kalangan.

Tidak ketinggalan masalah utang. Bukan hanya soal penundaan pembayaran utang negara-negara low income country, anggota G20 sendiri sebenarnya berada dalam tekanan risiko utang. AS masih menghadapi ketidakpastian batas utang atau debt ceiling seiring pelebaran defisit untuk membiayai proyek infrastruktur.

Negara-negara G20 di luar China sedang memiliki perhatian khusus pada resep Belt Road Initiative (BRI) karena menjadi hegemoni baru dunia dengan jalan pemberian utang secara besar-besaran. Sebagian telunjuk mengarah pada Indonesia yang sempat masuk dalam negara-negara penerima pinjaman utang China yang berisiko dalam laporan AidData.

Masalah lingkungan hidup yang diangkat di berbagai forum multilateral akan menjadi agenda penting pada setiap pertemuan G20. Keprihatinan terkait dengan isu lingkungan hidup harus dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.

Salah satunya untuk menarik investasi hijau. Kekurangan pembiayaan proyek pembangkit tenaga listrik dari EBT diperkirakan Rp10.000 triliun hingga 2060. Apakah di sela-sela forum utama G20 Indonesia bisa meraih pendanaan hijau yang cukup besar?

Di sini butuh kesiapan proposal rinci, tingkat pengembalian modal, risiko dan rencana kedaruratan jangka panjang, sehingga komitmen investasi bisa direalisasikan, tidak menguap begitu saja. Posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 tidak diragukan lagi memegang peran penting.

Oleh karena itu jika hanya menjadi tuan rumah dan sibuk membuat event-event serta persiapan penyambutan tamu, tentu tidak akan berdampak besar.

Hitung-hitungan pengeluaran hotel, venue, makanan minuman dan transportasi selama acara hanyalah efek samping. Adapun efek utama nya adalah seberapa besar kerja sama menguntungkan yang didapatkan oleh pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat dalam jangka panjang. Diperlukan terobosan ide dan gagasan segar yang khas Indonesia.

Masih ada waktu untuk mendiskusikan beberapa lompatan besar yang menjadi tema kunci Forum G20 pada 2022 mendatang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper