Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai bahwa kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2022 senilai 1,09 persen akan berdampak terhadap tingkat konsumsi masyarakat secara terbatas. Jika konsumsi sebagai komponen utama tidak meningkat, pertumbuhan ekonomi dapat terhambat.
Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, dibandingkan dengan tahun ini yang tidak ada kenaikan upah, maka kenaikan UMP pada tahun depan akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat. Meskipun begitu, pengaruhnya ada di level yang terbatas.
Menurutnya, komponen konsumsi dalam kue ekonomi Indonesia merupakan yang terbesar, sehingga dinamika dalam konsumsi akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada tahun depan. Yusuf menilai bahwa pemerintah perlu memperhatikan dampak dari ketentuan upah tersebut dengan menyeimbangkannya oleh kebijakan lain.
"Dengan kenaikan yang marginal, pemerintah perlu memastikan bahwa inflasi di tahun depan berada dalam range yang ditargetkan pemerintah, karena inflasi jika bergerak terlalu tinggi akan menggerus daya beli masyarakat dan pada muaranya akan menekan konsumsi rumah tangga," ujar Yusuf kepada Bisnis, Kamis (18/11/2021).
Menurutnya, dengan kenaikan upah yang relatif kecil, pemerintah perlu menambah instrumen lain jika memang ingin mencapai target konsumsi rumah tangga pada tahun depan. Salah satu kebijakan yang dapat dipertimbangkan yaitu aktivasi kembali bantuan subsidi upah.
"Setidaknya ada penambahan kompensasi bagi para pekerja untuk melakukan konsumsi pada tahun depan,"
Baca Juga
Berbagai kebijakan harus disiapkan jika pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi tercapai sesuai target dengan berlakunya ketentuan upah minimum pada tahun depan.
Adapun, menurut Core Indonesia, tepat atau tidaknya kebijakan kenaikan UMP 1,09 persen sebenarnya bergantung kepada indikator yang digunakan pemerintah. Sejauh ini, Core Indonesia belum menemukan dokumen yang menjelaskan perhitungan yang kemudian memunculkan angka 1,09 persen.
Yusuf sendiri mengira dalam indikator baru penentuan UMP, terdapat indikator rata-rata konsumsi per kapita. Namun, menurutnya terdapat potensi kesalahpahaman dalam penentuan UMP melalui indikator konsumsi per kapita.
"Meskipun benar bahwa indikator ini benar menjelaskan kondisi perekonomian suatu provinsi, tetapi berpotensi misleading, misalnya pada tahun ini, dengan adanya Covid-19 dan efek yang diberikan oleh perartuan ini maka konsumsi per kapita diperkirakan akan turun, sehingga jika dimasukan dalam penghitungan penghitungan UMP, maka keluaran akan lebih kecil," ujar Yusuf.