Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman menilai hilirisasi produk turunan nikel perlu digenjot untuk memberi nilai tambah lebih bagi industri maupun negara.
Nikel mengalami kenaikan harga cukup drastis sepanjang 2021. Bahkan rerata harga komoditas ini mencapai US$19.800 per ton pada November. Tetapi, pemerintah mewajiban industri lebih dulu mengolah produk tersebut sebelum diekspor.
Larangan ekspor bijih nikel dunia bahkan mendapat respons negatif dari Eropa. Benua Biru bahkan melayangkan gugatan untuk pemerintah RI kepada World Trade Organization (WTO) akibat kebijakan ini.
Kendati demikian, langkah pelarangan ekspor bijih nikel dilakukan untuk memperbesar hilirisasi komoditas itu menjadi produk jadi agar mendapatkan nilai tambah lebih besar.
Ferdy menyebut selama ini produk olahan nikel lebih banyak menjadi feronikel dan nikel pig iron. Sementara produk lebih hilir seperti stainless steel hingga besi baja masih terbilang sedikit.
“Saya sepakat kalau nikel sampai di hilir sampai ke baja. Karena memang selama ini hilirisasi masih separuh-separuh. Artinya semakin banyak persentase nikel yang diolah akan semakin bagus,” katanya kepada Bisnis, Kamis (18/11/2021).
Kendati demikian langkah itu memerlukan teknologi termasuk ketersediaan pabrik olahan nikel menjadi besi baja. Menurutnya, Indonesia belum memiliki pabrik tersebut kecuali produk murni baja.
Sebab itu, Ferdy mendorong pelaku industri dalam negeri untuk berinvestasi mengolah nikel hingga menjadi produk besi baja. Di sisi lain diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung hilirisasi ini.
“Selama ini kan hilirisasi hampir nggak jalan karena pelaku domestik nggak punya duit mengembangkan smelter. Saya agak ragu pelaku domestik mengembangkan industri baja kecuali lewat kerja sama,” terangnya.
Di sisi lain, dia berharap pemerintah untuk mempercepat atau mendukung proyek smelter agar hilirisasi nikel berjalan optimal. Ferdy juga mendorong PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. untuk terlibat dalam rencana ini.