ROKOK ILEGAL: Industri Rugi, Negara Gigit Jari

Di tengah turunnya perekonomian akibat pandemi Covid-19 membuat peredaran rokok ilegal justru kian subur di kalangan masyarakat.
Foto: dok. Bea Cukai
Foto: dok. Bea Cukai

Bisnis.com, JAKARTA - Bak cendawan pada musim hujan, peredaran rokok ilegal justru kian subur di tengah seretnya perekonomian akibat pandemi Covid-19 dan harga rokok berpita yang makin mahal.

Berdasarkan penelusuran Bisnis Indonesia ke beberapa wilayah di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan, didapatkan puluhan merek rokok ilegal beredar hingga ke pelosok. Merek-merek itu antara lain Premium, Luffman, Mr. X, Akbar, Djaran Goyang, Mildboro, Biss Bold, Sekar Madu, Gudang Gaman, L4, dan Indah BLN.

Tak hanya bersumber dari dalam negeri, di Pekanbaru, Riau, produk tembakau tanpa pita cukai, berdasarkan informasi di lapangan dengan merek antara lain Luffman dan Mr. X, berasal dari impor. Kedua rokok jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) ini kemungkinan besar banyak mengalir dari kawasan pesisir sehingga dicurigai berasal dari praktik penyelundupan lintas batas negara.

Ridwan, warga Pekanbaru mengaku sebagai konsumen tetap rokok ilegal dengan merek Luffman. Rokok ini di pasaran dibanderol Rp10.000 per bungkus, berisikan 20 batang, atau jauh lebih rendah dibandingkan rokok legal.

"Harganya memang murah dibandingkan rokok resmi, cuma kadang ada juga pedagang yang curang dijualnya dengan harga sama seperti rokok resmi," ujarnya.

Hal serupa juga terjadi di Kalimantan. Salah satu rokok ilegal dengan merek Premium, diselundupkan dari sentra produksi di Jawa melalui jalur laut, dengan cara ditenggelamkan dari kapal-kapal kayu di pinggir jalan.

Rokok ilegal ini dijual dengan harga Rp15.000 per bungkus di Kota Nunukan hingga ke wilayah Pulau Sebatik di Kalimantan Utara. Rokok kategori SPM ini disinyalir berasal dari Klaten, Jawa Tengah.

Di wilayah-wilayah tersebut, Premium cukup laris, beberapa toko eceran mengaku bisa menjual hingga 10 slof per hari. Bahkan, rokok ilegal tersebut juga melintas batas hingga Kota Tawau, Sabah di Malaysia.

Salah seorang pengedar rokok ilegal, sebut saja namanya Burhan, yang ditemui Bisnis di sekitar Semarang, Jateng, bahkan mengaku kewalahan memenuhi pesanan konsumen.

“Pandemi ini justru ramai pesanan, konsumen biasanya untuk selingan dengan rokok biasa, apalagi harga rokok berpita semakin mahal karena cukai kan naik,” jelasnya.

Dalam sehari, Burhan bisa mengirim hingga 20 pak rokok ilegal ke berbagai daerah. Tak hanya di Pulau Jawa, bahkan penjualannya telah merambah pasar Sumatra, Kalimantan hingga Nusa Tenggara.

“Paling berani maksimal segitu [20 pak], lebih dari itu gak berani. Pernah ada barang hilang, tapi gak saya urus karena polosan. Lebih baik direlakan,” tuturnya.

ROKOK ILEGAL: Industri Rugi, Negara Gigit Jari

Sumber: Kemenkeu, Diolah

SIASAT JALUR ILEGAL

Untuk menghindari penggeledahan dari Bea Cukai atau Kepolisian Daerah, Burhan tak pernah menyimpan rokok tersebut di rumahnya.  “Biasanya lewat mandor [gudang rokok ilegal], kami tidak langsung ke tempat produksi. Ambil barang juga gak bisa banyak,” ungkapnya.

Jalur komunikasi tiap peran ‘pemain rokok polosan’ ini juga sangat dibatasi. Burhan yang berperan selaku distributor, misalnya, hanya bisa berkomunikasi dan bertransaksi dengan mandor gudang.

Bahkan, seorang pengemas rokok bisa tak mengetahui bos pemilik produksi rokok yang membayar mereka. “Saya sendiri gak tau bosnya, tahu-tahu rokoknya jadi dan dikirim,” jelas Burhan.

Dari setiap slof rokok berisi sekitar 10 bungkus, Burhan membayar Rp30.000, tergantung merek yang tengah digandrungi pasar. Singkatnya, di wilayah operasi Burhan terdapat beberapa produsen rokok ilegal dengan merek tertentu yang memang sudah mempunyai segmentasi pasar.

“[Harga dari] produsen itu sebungkusnya Rp2.500, itu mereka sudah untung tipis. Tapi jauh lebih aman. Karena risiko terbesar ada di pengiriman, ketika distributor membuang barangnya [ke pasaran],” jelasnya.

Untuk mengelabui perusahaan ekspedisi, Burhan mengirimkan paket rokok ilegal tersebut dari lokasi yang berbeda-beda. Bahkan, dia harus mengendarai motornya hingga ke kota lain.

“Kalau untuk kedok [pengiriman], biasanya masuk di kategori sembako atau apa di pengirimannya,” jelasnya.

Para pelaku rokok ilegal ini pun penuh akal. Selain tanpa pita dan pita cukai palsu, pedagang barang haram ini juga menggunakan pita cukai yang tidak sesuai tidak sesuai tarif berdasarkan golongan dan jenis.

Dari penelusuran Bisnis di beberapa kota Jawa Timur, misalnya, banyak produk SKM (Sigaret Kretek Mesin) yang malah dilabeli pita Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan tarif cukai yang lebih rendah.

Dengan menjual SKM yang ditempeli cukai SKT, maka satu bungkus rokok ilegal isi 20 batang bisa dijual hanya Rp8.000 – Rp9.000/bungkus. Harga miring itu jauh lebih rendah dibandingkan rokok legal yang diproduksi perusahaan rokok golongan II yang paling murah dijual di kisaran Rp 20.000/ bungkus untuk isi sama, sehingga otomatis SKM legal yang harganya paling murah pun, akan kalah bersaing di pasar.

Dengan modus operandi seperti itu, maka pelaku bisa dapat terhindar dari jerat hukum pidana seperti jika mengedarkan rokok tanpa pita cukai. “Paling dikenakan sanksi administrasi berupa denda,” ungkap salah seorang pelaku.

Siasat lainnya, para pelaku rokok ilegal juga mengelabui penjual dengan nama dan kemasan yang menyerupai merek rokok legal. Contohnya, rokok ilegal dengan merek Gudang Gaman yang sekilas tidak berbeda dengan rokok Gudang Garam, rokok Sekar Madu SMD yang tampak mereplika merek Djarum Super MLD.

Kedua produk rokok ilegal itu berasal dari Jateng, sedangkan pasar produk tersebar mulai dari Jawa Barat hingga beberapa kota di Sumatera dengan perkiraan penjualan hingga 20 pak per toko eceran.

ROKOK ILEGAL: Industri Rugi, Negara Gigit Jari

Sumber: DJBC, Kemenperin, Diolah

PENDAPATAN HILANG

Peredaran rokok ilegal tentu sangat meresahkan dan berpotensi mencukur pendapatan negara dari cukai hingga triliunan rupiah.

Nilai sitaan rokok ilegal di Jateng dalam satu semester mencapai Rp27,14 miliar dan dalam setahun bisa mencapai Rp50 miliar. Di Riau, total sitaan rokok ilegal hingga Juli 2021 mencapai Rp10,6 miliar, sedangkan di area Timur Kalimantan mencapai Rp10 miliar.

Di Jawa Timur, hingga Juli 2021, aparat menjaring 14,9 juta batang rokok ilegal yang telah dipasarkan dengan nilai transaksi mencapai Rp6,9 miliar, yang jika diakumulasikan hingga akhir tahun bisa menembus Rp13 miliar.

Adapun berdasarkan survei rokok ilegal oleh UGM, angka peredaran rokok ilegal di Indonesia sebesar 4,86 persen. Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menargetkan peredaran tersebut bisa ditekan hingga 3 persen pada tahun ini.

“[Peredaran] rokok ilegal, saat ini diperkirakan sudah lebih dari 10 persen. Ini berarti negara bisa rugi triliunan rupiah,” ujar Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi.

Menurutnya, langkah pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) secara signifikan di tengah pandemi, menyebabkan konsumen yang daya belinya sedang turun, beralih ke rokok-rokok yang lebih murah, hingga ke rokok ilegal. Alhasil, produksi dan performa pabrik rokok legal juga terus digerogoti.

“Yang legal jelas kalah bersaing, karena mereka [rokok ilegal] nggak bayar cukai.”

Oleh karena itu, Benny berharap kenaikan cukai pada 2022 dapat dilakukan secara moderat atau tidak ada kenaikan sama sekali, mengingat situasi saat ini.

Pemilik Pabrik Rokok (PR) Pesisir Adiguna Karya, Aditiya mengakui hal tersebut. Pengusaha rokok SKT Golongan III tersebut mengaku bahwa omzet perusahaannya sangat terganggu dengan penjualan rokok ilegal. “Setiap pasar yang tak masuki dan jalan, ketika keluar rokok ilegal pasti bubar,” jelasnya.

Bahkan di Kecamatan Kalinyamatan, Jepara yang dianggap sebagai sentra produksi rokok sejak era lawas, ada puluhan pabrik rokok milik warga yang terpaksa gulung tikar akibat kebijakan cukai yang diiringi ‘serangan’ rokok ilegal.

“Ya itu tadi, gak kuat mengikuti aturan pemerintah. Mau gak mau pekerja di-PHK, dulu [kami sempat PHK] 50 orang lebih,” jelas Aditiya.

Sementara itu, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio mengungkapkan peredaran rokok ilegal memang selalu dipicu harga dan cukai. Menurutnya, rokok sebagai barang konsumsi terbesar kedua, sangat rentan dengan praktik pemalsuan. Terlebih lagi jika terjadi kenaikan harga yang terus menerus.

“Jangan sampai kita nanti menjadi seperti Malaysia yang pertumbuhan rojok ilegalnya mencapai dua digit,” ungkapnya.

Di lain sisi, aparat termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Daerah terus memburu para pelaku. Namun transaksi produk ilegal tersebut justru semakin meningkat.

Humas Kanwil DJBC Riau Fino Vianto menilai meningkatnya peredaran rokok ilegal adalah sebuah konsekuensi dan efek samping dari kenaikan cukai rokok. khususnya, di tengah pandemi yang memukul aktivitas ekonomi masyarakat. Dampaknya, permintaan terhadap rokok murah semakin bertambah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper