Bisnis.com, JAKARTA – Bandara JB Soedirman di Purbalingga yang baru saja diresmikan pada Juni 2021 berisiko mengulang nasib yang sama seperti Bandara Kertajati, Jawa Barat apabila perencanaan dan pembangunan ekosistemnya ke depan tak memperhatikan perkembangan wilayah secara jangka panjang.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo menjelaskan dari sisi ketentuan, pembangunan bandara yang berlokasi di Purbalingga tersebut telah menyalahi aturan. Jarak bandara tersebut adalah 65 km yang berarti terlalu dekat dengan Cilacap. Belum lagi sudah terlalu banyak bandara di kawasan selatan Jawa lainnya yang juga berdekatan. Pembangunan bandara tersebut tentunya juga akan berkompetisi dengan moda darat dan kereta api.
Melihat letak bandara berkode PWL tersebut Agus menilai maskapai pun tidak akan bertahan lama membuka rutenya lantaran sepinya penumpang. Untuk membuka konektivitas tersebut, pemerintah bisa saja melakukan penugasan kepada maskapai nasional. Namun tentunya penugasan tersebut juga tak akan bisa lama kalau pemerintah tidak mengucurkan insentif.
Menurutnya untuk membangun bandara dan mengundang maskapai bukan hanya dengan desain bandara yang megah dan bagus tetapi juga dengan potensi jumlah penumpang. Selain itu, lanjutnya, membangun bandara memerlukan kajian kelayakan yang matang. Jangan hanya mengandalkan kecepatan pembangunan.
“Bisa jadi seperti Kertajati. Saya sudah berkali-kali bilang kalau bangun infrastruktur harus ada Feasibility Study-nya yang rinci. Tapi kalau buat FS memang lama. Pemerintah kan inginnya cepat-cepat. Ya jadinya begitu,” ujarnya, Senin (25/10/2021).
Sementara itu, pemerhati penerbangan Alvin Lie menjelaskan dalam perencanaan pembangunan bandara harus dibuat dengan proyeksi minimal 50 tahun ke depan. Proyeksi tersebut dengan memeprtimbangkan kebutuhan warga setempat untuk bepergian dan membutuhkan pelayanan transportasi udara. Demikian juga kebutuhan dari daerah lain menuju daerah tersebut untuk menuju kota atau daerah yang berdekatan.
Baca Juga
Selain itu, lanjutnya juga perlu mempertimbangkan daya tariknya dan aksesibilitas di wilayah bandara tersebut berada. Termasuk infrastruktur lainnya yang juga dibangun seperti jalan raya, tol, kereta api yang bisa menjadi saling mendukung dan substitusi bagi transportasi udara.
“Yang repot adalah ketika ternyata hanya menjadi substitusi moda lain sehingga pengguna jasa akan mempertimbangkan lebih praktis atau menguntungkan mana terbang atau transportasi darat atau ada lainnya sehingga hal hal tersebut juga diperhitungkan jangka panjangnya. Saat belum ada jalan tol atau double track dan perkembangan kedepannya bagaimana,” terangnya.
Alvin berpendapat Bandara Soedirman beroperasi di tengah pandemi saat kondisi transportasi udara berat dan jumlah penumpang merosot hingga 90 persen sehingga sepinya bandara JB Soedirman juga dikarenakan sejumlah faktor.
Pada intinya, Alvin juga menekankan membangun bandara bukan hanya sekedar membangun secara fisik tetapi juga ekosistem yang mendukung bandara.