Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada PT Pertamina (Persero) untuk menjaga harga bahan bakar minyak tidak naik harus dipastikan tidak akan membebani kinerja keuangan perusahaan pelat merah tersebut.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat sebagai net importer, kenaikan harga minyak dunia akan membebani keuangan negara. Kendati terjadi peningkatan dari sisi penerimaan negara di sektor hulu migas, tetapi kenaikannya lebih kecil jika dibandingkan dengan pembengkakan pengeluaran di hilir yang disebabkan oleh impor dan subsidi.
Menurut dia, rencana pemerintah untuk memberikan kompensasi untuk menjaga keekonomian Pertamina dan menjaga harga BBM tidak naik di pasaran merupakan keputusan yang paling rasional untuk dilakukan jika menimbang aspek stabilitas politik dan ekonomi.
Namun, proses administrasi dan mekanisme pemberian kompensasi kepada Pertamina perlu dijamin dan dijalankan dengan transparansi dan akuntabilitas yang baik.
"Sehingga secara keuangan, Pertamina tidak terbebani dan penyaluran BBM kepada masyarakat tidak terganggu," katanya kepada Bisnis, Senin (25/10/2021).
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih untuk menjaga kinerja keuangan Pertamina tidak merugi pada saat harga minyak naik tanpa harus menaikkan harga BBM, pemerintah memilih untuk memberikan kompensasi.
Menurutnya, harga jual jenis bahan bakar minyak umum pada prinsipnya akan mengikuti dengan perkembangan harga minyak dunia. Tetapi, di tengah kondisi pandemi Covid-19, kenaikan harga BBM akan sulit diterima oleh masyarakat.
"Penyesuaian kenaikan harga BBM agar Pertamina tidak merugi, ini akan dibahas bagaimana kompensasi kepada Pertamina, yang diharapkan kenaikan harga BBM ini sebenarnya juga mungkin masih sulit diterima oleh masyarakat yang kondisinya baru mau pulih Covid-19, jadi kemungkinan adalah pemerintah yang kira-kira mengalah sama rakyat biar tetap tenang tidak ada inflasi," jelasnya.