Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai pelaksanaan skema imbal dagang dalam ekspor dan impor perlu memperhatikan aspek volume dan nilai barang. Dengan demikian, tujuan menjaga neraca dagang tetap seimbang bisa dicapai.
“Jika berkaca pada imbal dagang terdahulu, fokus yang dikejar adalah volume besar. Kalau volumenya tidak besar, saya rasa tidak perlu melakukan imbal dagang karena volume besar dibutuhkan untuk menjaga neraca dagang dan menghemat devisa,” kata Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio, Senin (25/10/2021).
Andry berpendapat bahwa sejatinya pelaksanaan imbal dagang mengedepankan aspek keuntungan negara. Skema nonkonvensional ini juga bisa dipilih untuk memperkenalkan produk potensial yang belum memiliki pasar dan nilai ekspor yang besar.
“Saya melihat dalam pelaksanaan sekarang adalah bagaimana menguntungkan negara. Misalnya bagaimana ekspor produk pionir yang masih belum memiliki pasar besar bisa ditingkatkan dan menyasar pasar potensial,” imbuhnya.
Dia juga menilai wajar partisipasi terbatas dari pelaku usaha swasta. Menurutnya, eksportir dan importir umum akan lebih memilih memanfaatkan ekspor konvensional. Skema ini, kata Andry, makin mudah seiring dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional.
Di sisi lain, kehadiran kuota dalam skema imbal dagang juga menjadi kendala tersendiri. Pemerintah perlu memperjelas apa keuntungan yang mungkin diperoleh pelaku usaha dalam keikutsertaan imbal dagang jika dibandingkan dengan ekspor dan impor pada umumnya.
Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani menjelaskan minat keikutsertaan imbal dagang di kalangan pengusaha cenderung rendah.
Dia mengatakan skema imbal dagang tidak terlalu dipahami mekanismenya oleh pelaku usaha karena skema tersebut awalnya diciptakan untuk dijalankan oleh pemerintah atau BUMN.
“Skema imbal dagang yang ada sebelumnya cukup rumit dan memiliki proses administrasi dagang yang panjang,” kata Shinta, Senin (25/10/2021).
Shinta menjelaskan eksportir harus meminta kuota dagang dari pemerintah untuk menjalankan ekspor atau impor melalui skema imbal dagang. Imbal dagang sendiri hanya bisa dilakukan jika pelaku usaha masih memiliki kuota dagang sebagaimana disepakati kedua negara.
“Karena kerumitan dan inefisiensi proses dagang ini, eksportir kita jadi tidak tertarik dan lebih memilih mengekspor dengan skema biasa,” kata Shinta.