Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soal Pajak Karbon, Kadin Lagi-lagi Minta Insentif ke Pemerintah

Kadin lagi-lagi meminta insentif di tengah upaya pemerintah menerapkan pajak karbon sebagai salah satu komitmen untuk mendorong industri yang berkelanjutan.
Ilustrasi Kadin
Ilustrasi Kadin

Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong pemerintah untuk memberikan insentif kepada industri manufaktur untuk memperluas penggunaan energi bersih.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan pajak karbon yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022 akan berdampak ke beban biaya yang berpotensi menurunkan daya saing.

"Harus ada shifting [ke energi bersih], cuma kalau tidak dikondisikan ya tidak bisa, peran pemerintah sangat penting dan ditunggu," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (14/10/2021).

Di sisi lain, Bobby juga memandang pengenaan pajak karbon sebagai kebijakan yang harus diberlakukan cepat atau lambat untuk memenuhi komitmen Indonesia di Perjanjian Paris.

Hal itu juga seiring dengan arah pembangunan dunia menuju visi berkelanjutan. Konsekuensinya, industri dituntut bergerak ke arah yang sama.

"Saya pikir kita jangan melihat dari sisi jangka pendek, tapi bahwa ini menciptakan peluang baru, industri baru, bisnis baru ke depan," ujarnya.

Dari sisi pengembangan energi batu dan terbarukan, lanjutnya, pemerintah juga perlu membangun ekosistem yang kondusif sehingga mampu membuka keran investasi. Salah satunya dengan harga beli listrik EBT yang lebih kompetitif dalam jangka waktu tertentu.

 
"Bisa saja dengan staging, 5 tahun pertama lebih tinggi sekian persen dari harga [harga listrik dengan] batu bara, 10 tahun jadi sama, setelah itu turun lagi sehingga bisa kompetitif," terang Bobby.

Sebelumnya, tarif pajak karbon ditetapkan Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Angka itu lebih rendah dari usulan sebelumnya Rp75 per CO2e.

Dengan penetapan tersebut, tarif pajak karbon Indonesia sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, yang menetapkan tarif US$3,71 per ton CO2e atau sekitar Rp56,89 per kg CO2e.  

Sementara itu, berdasarkan inventarisasi gas rumah kaca (GRK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun lalu, industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar emisi ketiga setelah sektor energi dan transportasi. Kontribusinya mencapai 21,46 persen, sedangkan energi sebesar 43,83 persen dan transportasi 24,64 persen, serta sektor lainnya 4,13 persen. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper