Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menegaskan kenaikkan harga kapas di pasar internasional tidak akan berdampak langsung terhadap industri tekstil dalam negeri.
Redma beralasan produsen tekstil untuk kebutuhan domestik selama ini sudah menggunakan bahan baku pengganti kapas seperti polyester dan rayon yang dapat diproduksi dalam negeri.
Di sisi lain, Redma mengatakan, kebutuhan kapas hanya mencapai 600.000 ton setiap tahunnya. Adapun, 60 persen atau 300.000 ton kebutuhan bahan baku kapas itu digunakan untuk produk ekspor. Sisanya, kebutuhan bahan baku kapas itu digunakan untuk industri dalam negeri.
“Tidak akan ada gejolak harga di dalam negeri, karena memang permintaannya lebih banyak diambil polyester dan rayon. Apalagi pasokan kapas tidak banyak, dengan kondisi seperti ini [kenaikkan harga internasional] akan turun lagi,” kata Redma kepada Bisnis.com, Selasa (12/10/2021).
Dia menambahkan kebutuhan bahan baku pengganti kapas untuk industri domestik mencapai 1,2 juta ton setiap tahunnya. Perinciannya, konsumsi rayon mencapai 600.000 ton, kebutuhan polyester Filamen sebesar 500.000 ton dan polyester Fiber 700.000 ton.
“Industri kita sebenarnya sudah siap untuk beralih tidak butuh persiapan lain lagi hanya perlu pindah mesin saja,” kata dia.
Baca Juga
Berdasarkan catatan APSyFI, harga bahan baku pengganti seperti polyester dan rayon relatif lebih murah dibanding kapas. Dalam situasi normal atau stabilnya harga di pasar internasional, kapas dipatok pada angka US$1,2 per kg, polyester pada posisi US$0,9 sampai US$1 per kilogram dan rayon sebesar US$1,2 per kilogram yang sudah bisa dihasilkan dalam negeri.
“Jadi begitu pindah bahan baku sebenarnya lebih murah, kalau rayon itu kita tidak akan nak karena kita tanam sendiri, jadi tidak akan ada isu harga tekstil bakal naik,” katanya.
Kapas berjangka melesat melampaui US$1 per pon untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade karena cuaca buruk dan hambatan pengiriman mengancam pasokan, menaikkan biaya pakaian di seluruh dunia. Di New York, kontrak untuk pengiriman Desember 2021 naik ke angka US$1,005 per pon, tertinggi sejak November 2011.
Dilansir Bloomberg, Selasa (28/9/2021), harga kapas telah melonjak 28 persen sepanjang tahun ini karena permintaan yang ketat terutama dari China, ditambah dengan gangguan pasokan akibat pandemi dan kekacauan logistik yang dipicu oleh naiknya biaya pengiriman.
Semakin tinggi harga serat berarti biaya untuk membuat pakaian akan meningkat. Peritel mungkin mencoba membebankan biaya tersebut kepada pelanggan, yang mengakibatkan inflasi untuk segala hal mulai dari T-shirt hingga jeans. Ini dapat mengekang permintaan dan menekan margin untuk pembuat pakaian jadi seperti Levi Strauss & Co.
Kapas diproyeksikan mengalami defisit pasokan global selama dua tahun berturut-turut, dan China, pengguna utama, membutuhkan sumber serat baru untuk industri tekstilnya di tengah reaksi internasional tentang pelanggaran perburuhan di Xinjiang, wilayah penghasil terbesarnya.
Sementara, AS melarang impor produk kapas dari Xinjiang awal tahun ini. Negara-negara berkembang utama lainnya seperti Bangladesh, Pakistan dan India mengalami masalah panen. Meksiko, pembeli utama, akan membeli serat Amerika paling banyak dalam 11 tahun.
Ekspor AS pada musim 2020-2021 yang berakhir pada Juli adalah yang tertinggi dalam 15 tahun pada 16,4 juta bal, didorong oleh rekor impor global. China melampaui Vietnam sebagai tujuan terbesar kapas AS untuk pertama kalinya dalam enam tahun.
Kekhawatiran pasokan terbaru datang dari India, karena panen di Punjab gagal karena penyakit bollworm.