Bisnis.com, JAKARTA - Smart farming millennials digadang-gadang akan mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Bangsa ini mengandalkan kaum milenial untuk memajukan pertanian di tengah rendahnya partisipasi kelompok ini di sektor tersebut. Bahkan Kementerian Pertanian menargetkan penciptaan 2,5 juta petani milenial hingga 2024. Rasanya cukup beralasan.
Bagaimana tidak? Indonesia masih memiliki surplus tenaga kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada Februari 2021 sekitar 8,75 juta orang menganggur, yaitu penduduk usia kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja. Lebih dari 77 persen penganggur berusia di bawah 40 tahun dan sekitar 33 persen tergolong generasi milenial.
Kelompok ini yang diharapkan mampu membangkitkan kembali kejayaan pertanian nasional, baik dalam mendorong pemulihan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Di masa bangsa ini mampu berswasembada pada 1986 lalu, sektor pertanian dapat 54,36% tenaga kerja (35,54 juta orang). Namun kini (Februari 2021) daya serapnya berkurang hingga lebih dari separuhnya.
Tenaga kerja di sektor pertanian hanya 29,59 persen (38,78 juta orang) dari total penduduk bekerja. Walaupun dari sisi daya serap tenaga kerja menurun, kita cukup bahagia mendengar euphoria sektor ini mampu tumbuh positif 1,75% di tengah terkontraksinya sektor-sektor lain akibat guncangan pandemi Covid-19 pada 2020 lalu.
Pertanian mampu tumbuh positif di tengah badai pandemi. Namun, kita perlu melihat kembali siapa yang menggerakan sektor ini? Hasil Sensus Pertanian 2013 menyebutkan bahwa sektor pertanian nasional didominasi oleh usaha rumah tangga. Sebanyak 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian, 4.209 perusahaan pertanian, dan 5.982 unit usaha pertanian lainnya menggerakan sektor pertanian domestik 8 tahun silam.
Dari total 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian, sebanyak 98,53 persen adalah pengguna lahan. Jika dirinci kembali, lebih dari separuhnya (54,54 persen) adalah petani gurem, yaitu petani yang mengelola lahan dengan luas kurang dari 0,5 hektare.
Alhasil, tingkat produksi dan produktivitas pun cenderung rendah. Akhirnya, sebagian besar petani gurem ini juga menyandang gelar sebagai rumah tangga miskin. Data BPS menunjukkan bahwa 46,30 persen penduduk miskin di Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (Maret 2020).
Indonesia memiliki modal besar dalam konteks penduduk usia muda. Dari hasil Sensus Penduduk 2020, sebanyak 25,87 persen total penduduk adalah generasi milenial. Mereka mampu beradaptasi cepat dengan perubahan teknologi saat ini. Dari sisi ekonomi, potensi kaum milenial merupakan peluang untuk dikapitalisasi sebagai sumber pertumbuhan.
Kita sadari bahwa digitalisasi ekonomi telah terjadi sangat cepat di Indonesia. Bangsa ini telah mengalami perkembangan yang pesat sekali seiring dengan maraknya aktivitas perdagangan dan jasa berbasis seluler.
Semua sektor penggerak perdagangan dan jasa pun mau tak mau harus beradaptasi, termasuk pertanian. Paradigma perlu berubah. Beberapa petani milenial telah menunjukkan bagaimana mudahnya mengelola pertanian dengan menggunakan teknologi. Tak hanya dalam proses produksi tetapi juga pemasarannya. Produktivitas pun bisa meningkat berkali lipat.
Best practise ini tentu bisa dijadikan pelajaran dan selanjutnya dijadikan tumpuan harapan. Namun mendorong generasi milenial tertarik untuk bertani tentu tidak mudah. Perlu upaya bersama untuk mempercepat pencapaian target hingga akhirnya kesejahteraan petani bisa meningkat melalui gerakan petani milenial.
Akselerasi gerakan 2,5 juta petani milenial perlu dukungan dan kolaborasi kuat berbagai pihak. Pertanian berperan sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, penyerapan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan.
Selain itu, keterkaitan ke depannya (forward linkadge) diharapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor di hilirnya untuk tumbuh. Oleh karena itu, ketersediaan data pertanian yang akurat dan komprehensif menjadi kebutuhan strategis.
Saat ini tidak hanya anggaran yang menjadi bagian penting. Kita memerlukan Satu Data Pertanian. Stakeholders pembangunan pertanian nasional perlu mendorong terwujudnya agenda tersebut. Adanya Satu Data Pertanian dapat meningkatkan ketepatan perencanaan, kinerja pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Ke depan data pertanian nasional harus terstandar, memiliki metadata, memiliki kode referensi dan saling interoperabilitas, yaitu dapat dibagipakaikan pada setiap pemangku kepentingan. Kita perlu memetakan basis data pertanian nasional, baik basis data petani menurut karakteristiknya maupun produktivitas pertanian nasional sesuai aktivitas ekonomi yang sangat beragam.
Hal ini mendesak agar tak ada lagi kekisruhan dan kesimpangsiuran data tatkala diluncurkan kebijakan yang menyentuh petani bangsa ini. Dua tahun mendatang, Indonesia punya hajat besar berupa Sensus Pertanian 2023.
Kita berharap basis data pertanian nasional bisa termutakhirkan secara menyeluruh hingga level terkecil. Ada keterpaduan data pertanian dari hulu hingga hilir yang memudahkan pengambilan kebijakan tepat sasaran.
Data hasil sensus yang ditopang dengan kekuatan data pertanian sektoral adalah kekuatan baru basis data pertanian nasional untuk mempercepat terwujudnya Satu Data Pertanian Indonesia.