Bisnis.com, JAKARTA - Jalan hidup peternak unggas, terutama peternak mandiri, baik peternak pedaging maupun petelur, amat tidak mudah. Diskusi, mediasi, lobi, bagi-bagi ayam hidup dan telur hingga turun jalan dan berurusan dengan polisi telah mereka lalui. Bahkan, somasi hingga menggugat ke pengadilan juga ditempuh. Namun, sejauh ini belum ada hasil.
Dua kementerian teknis, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, seolah saling lempar bola panas. Setelah perwakilan peternak mengungkapkan aneka masalah yang dihadapi di depan Presiden Jokowi, 15 September lalu, apakah masalah bakal usai?
Diakui atau tidak, masalah di industri perunggasan tidak lagi bersifat teknis tapi telah menyentuh dimensi struktural. Masalah pun membentang dari hulu hingga hilir. Karena itu, hampir bisa dipastikan masalah yang membelit tidak akan selesai apabila solusi yang ditempuh masih seperti selama ini: pemusnahan telur tertunas atau afkir dini induk ayam. Cara-cara seperti pemadam kebakaran itu tidak menyentuh akar masalah.
Pertama, di hulu hampir semua input produksi impor. Bukan hanya benih ayam (grand parent stock/GPS), tapi juga input pakan (bungkil jagung dan kedelai). Ketika harga GPS dan bahan pakan naik atau nilai rupiah tertekan, langsung berimbas di pasar domestik.
Kedua, dominasi integrator. Industri perunggasan terkonsentrasi pada segelintir pelaku, baik dalam penguasaan aset, omzet maupun pangsa pasar. Integrasi pasar vertikal dan horizontal amat tinggi. Di sisi lain, ada peternak kecil yang jumlahnya ribuan.
Pada 2015, sebanyak 80 persen pangsa pasar unggas dan 63 persen pangsa pakan ternak di Indonesia dikuasai hanya lima pemain (Partners, 2017). Konsentrasi ini membuat pasar amat rentan. Hasilnya, di hulu peternak rakyat terjepit karena mereka terpisah dari integrasi vertikal hulu-hilir.
Padahal, mereka amat tergantung pada integrator, baik DOC (day old chicks), pakan maupun obat-obatan. Sedangkan di hilir, pedagang eceran dan konsumen akhir ayam dan telur selalu terombang-ambing oleh harga seperti roller coaster.
Kepada dua pembantunya, Menteri Perdagangan M. Lutfi dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Presiden Jokowi memerintahkan dua hal. Pertama, meminta agar memastikan harga jagung untuk pakan bagi peternak Rp4.500/kg. Kedua, menyusun regulasi yang melindungi peternak. Harga jagung saat ini sudah jauh dari batas toleransi: Rp6.000/kg. Besaran ini jauh di atas harga acuan jagung untuk pakan seperti diatur di Permendag No. 7/2020: Rp4.500/kg. Padahal, jagung merupakan 55 persen penyusun pakan.
Dalam industri perunggasan, pengeluaran terbesar ada pada komponen pakan. Pakan mengambil porsi 70 persen dari seluruh ongkos produksi. Bila harga pakan terjangkau, terbuka peluang membangun industri perunggasan yang kompetitif. Tinggi-rendahnya harga jagung menjadi penentu harga akhir daging dan telur ayam. Akibat harga jagung yang tinggi, harga pakan saat ini naik 19 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Ketersediaan jagung yang pasti dengan harga terjangkau merupakan pilar penting bagi industri perunggasan.
Jika harga jagung bisa ditekan sesuai permintaan Jokowi, dalam jangka pendek peternak mendapatkan jalan keluar salah satu input produksi yang harganya tinggi. Agar solusi ini tidak seperti pemadam kebakaran, perlu ada kepastian pasokan jagung untuk pakan dengan harga khusus. Katakanlah Rp4.500/kg. Jika harga jagung di pasar tinggi atau di atas Rp4.500/kg, selisih harga pasar dengan harga khusus harus ditanggung pemerintah agar petani jagung tetap mendapatkan insentif ekonomi dalam berproduksi.
Pada saat yang sama, peternak rakyat juga harus mendapatkan kepastian harga jual daging dan telur ayam. Khusus peternak ayam broiler, harga ayam hidup di tingkat peternak sering jatuh di bawah harga acuan Permendag 7/2020: Rp19.000—Rp21.000/kg. Sementara biaya produksi Rp19.500/kg. Di sisi lain, harga ayam hidup dan karkas di konsumen tetap mahal. Dalam konteks inilah, pemerintah perlu membuat regulasi yang memihak: menyeimbangkan antara kepentingan peternak dan perusahaan integrator.
Mengapa? Karena kekuatan dua pelaku ini amat berbeda. Peternak rakyat berciri skala kecil (peliharaan kurang dari 5.000 ekor), berteknologi sederhana, rendah modal, dan akses pasar. Sebaliknya, integrator bermodal kuat, berteknologi modern, terintegrasi vertikal, dan mengendalikan pasar. Integrator juga mengembangkan pola kemitraan dengan peternak, yang dapat kemudahan akses input produksi dan pasar.
Dalam bingkai politik-ekonomi, tiap kebijakan selalu ada pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan. Konflik kepentingan klasik dalam politik-ekonomi adalah antara kebijakan yang menekankan efisiensi atau berorientasi pemerataan? Kepentingan siapa yang dipilih?
Mendorong integrator tanpa regulasi ketat tentu efisien. Namun ini mencederai pemerataan. Agar keduanya tetap eksis, perlu berbagi peran. Salah satunya dengan membagi pasar. Dengan segenap kelebihannya, integrator melayani pasar premium, yakni pasar hotel, restoran dan katering, pasar modern, dan pasar ekspor melalui rantai dingin (cold chain). Sebaliknya, pasar tradisional dilayani peternak rakyat melalui rantai segar (fresh chain). Pemisahan pasar ini akan mengeliminasi watak predatorik integrator.
Saat ini, 90 persen komoditas ayam (produksi peternak rakyat dan integrator) dijual dalam bentuk hidup di lapak sama: pasar basah. Sisanya dipasarkan dalam bentuk olahan. Pemisahan pasar mesti diikuti pembagian ulang kuota DOC broiler dan pengawasan ekstra ketat.
Berikutnya, integrator wajib menyelesaikan integrasi hingga ke hilir. Integrator wajib membangun rumah pemotongan unggas plus cold storage dan industri pengolahan seperti diatur Permentan 32/2017. Integrator harus mengintegrasikan seluruh mata rantai nilai dari produksi primer, distribusi, pengolahan, pemrosesan hingga penjualan di pasar dengan pendekatan from feed to meat.
Langkah ini selain memperbesar nilai tambah juga jadi solusi over-supply. Agar ini berjalan, pemerintah bisa memberikan insentif menarik. Selama ini, implementasi aturan ini masih memble dan penegakan sanksinya juga lemah.