Pertengahan Agustus lalu, sejumlah korporasi global yang sejak lama beroperasi di Indonesia berkomitmen untuk memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT). Komitmen ini sejalan dengan visi Pemerintah Indonesia untuk memenuhi target 23% bauran EBT pada 2025. Komitmen itu juga untuk mendukung 50% EBT dalam bauran energi nasional pada 2045 saat Indonesia memasuki usia 100 tahun.
Partisipasi sektor swasta ini bisa menjadi stimulan bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Korporasi itu diantaranya adalah Danone Indonesia, Amazon, New Balance, Nike, Nutrifood, Schneider Electric, Six Senses, dan VF Corporation. Kegiatan itu difasilitasi Clean Energy Investment Acceletator (CEIA), organisasi internasional yang mendorong akselerasi transisi energi, khususnya di negara berkembang, dan memiliki pangsa pasar luas di Indonesia.
Keterlibatan korporasi global dan organisasi independen seperti CEIA adalah sinyal besarnya perhatian komunitas internasional terhadap upaya pemerintah Indonesia mengatasi perubahan iklim. Kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan sangat berat jika hanya ditanggulangi pemerintah. Dibutuhkan partisipasi non-state actors seperti NGO, lembaga riset, akademisi, perguruan tinggi, sektor industri, bisnis, dan lainnya.
Dalam kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, kemampuan negara dalam pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih sangat terbatas, hanya sekitar 34% dari yang dibutuhkan. Itu sebabnya pelibatan sektor swasta menjadi krusial. Fungsi pemerintah adalah dalam konteks regulasi, kebijakan, dan mendorong koordinasi kementerian dan lembaga, menjalankan mitigasi dan aksi iklim.
Keterlibatan sektor swasta dalam isu perubahan iklim di Indonesia sudah dimulai dengan pembentukan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) sejak 2017. Dimotori beberapa pengusaha ternama seperti Shinta Kamdani (CEO Sintesa Group), Febriany Eddy (CEO Vale Indonesia), Clayton Allen Wenas (Dirut PTFI), dan lain-lain. Salah satu programnya adalah Restorasi Ekosistem Riau (RER) yang output-nya adalah menjaga stok karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati.
Dalam tinjauan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD, 2021), untuk menghadapi perubahan iklim, dibutuhkan transformasi ekonomi dan sosial, dan sektor swasta memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi iklim. Peran swasta ini dapat membantu masyarakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan dorongan, panduan dan kebijakan yang tepat, pengusaha di sektor swasta dapat mengembangkan solusi dan inovasi teknologi ramah iklim.
Sebagai contoh perkembangan teknologi listrik ramah lingkungan, yang kini secara global mengalami peningkatan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari dalam dua dekade 2020. Seperti dilaporkan Badan Energi Internasional (IEA, 2020), pertumbuhan ini akan terus berkembang lebih cepat dari sebelum pandemi. Alasannya, mengalihkan pembangkit listrik ke sumber terbarukan adalah pilar utama upaya global untuk mencapai netralitas karbon.
Demikian juga dengan tren dan perkembangan mobil listrik. Dalam Global EV Outlook 2021 yang diterbitkan IEA (2021), lebih dari 10 juta mobil listrik berada di jalan dunia pada 2020, meningkat 43% dibandingkan dengan 2019. Banyak faktor berkontribusi pada peningkatan perkembangan mobil listrik ini, di antaranya harga yang lebih kompetitif, insentif fiskal, dan gaya hidup rendah karbon.
Tren bisnis global telah bergerak ke arah keberlanjutan dan ramah lingkungan. Akhir Januari lalu, dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos (Swiss), 400 perusahaan di antaranya Arcelor Mittal (baja), Maersk (kargo), dan Shell (minyak), yang dikenal sebagai penghasil GRK, bekerja sama untuk menurunkan emisi karbon. Selain komitmen untuk mencapai emisi nol pada 2050, kemitraan itu juga untuk mempercepat upaya global mengatasi dampak perubahan iklim sesuai Kesepakatan Paris.
Selama ini berkembang asumsi bahwa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam krisis iklim. Padahal terjadinya perubahan iklim adalah akumulasi kegiatan ekonomi yang memicu peningkatan konsentrasi GRK dan berdampak pada lingkungan, kinerja ekonomi, perilaku sosial, infrastruktur, dan aspek lain dari keberadaan manusia. Sebagai global disaster, dampak perubahan iklim mirip—bahkan bisa lebih dasyat—dari pandemi Covid 19.
Dalam perubahan iklim, gagasan bahwa risiko masyarakat merupakan risiko bisnis, adalah penting bagi sektor swasta. Banyak perusahaan sebagian besar menyadari risiko dan peluang perubahan iklim tapi belum memiliki strategi, rencana, dan kegiatan adaptasi. Padahal adaptasi yang efektif membutuhkan tidak hanya kesadaran akan risiko tapi juga rencana aksi untuk mengatasinya.
Para pelaku bisnis di Tanah Air tentu menyadari bahwa mengatasi tantangan lingkungan global, seperti perubahan iklim, adalah kunci mengelola risiko bisnis dan memastikan pengembalian investasi jangka panjang. Tidak hanya investasi dan inovasi yang dibutuhkan, tapi juga tanggung jawab sosial terhadap keberlangsungan lingkungan. Maka keterlibatan sektor swasta harus menjadi bagian dari rencana dan prioritas pembangunan nasional tentang perubahan iklim dan lingkungan.