Bisnis.com, JAKARTA – Kebutuhan baterai di Indonesia diperkirakan mencapai 43 gigawatt hour (GWh) pada 2035 seiring dengan meningkatnya penggunaan energi berbasis baterai di masa depan.
Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan mengatakan bahwa potensi tersebut didasarkan pada hasil pengembangan tahap atau scenario base case.
“Penggunaan paling besar adalah dari passenger cars,” katanya saat webinar Mineral for Energy, Selasa (14/9/2021) malam.
Holding Industri Pertambangan itu mencatat bahwa pertumbuhan industri baterai mengalami peningkatan signifikan pada tahun-tahun mendatang. Kebutuhan baterai diperkirakan mulai menyentuh 2,4 GWh pada 2025.
Kemudian, permintaan akan terus meningkat pada 2030 dan mencapai 11,9 GWh. Lima tahun berselang atau pada 2035, permintaan baterai di Tanah Air bahkan akan melonjak hingga 43 GWh.
“Indonesia juga diekspektasikan menjadi top 2 supplier untuk EV [electric vehicle] di Asia Tenggara, dengan market share 25 persen,” terangnya.
Secara jangka panjang, Dany menjelaskan bahwa baterai akan didominasi oleh jenis Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC) sebesar 65 persen, dilanjutkan Lithium Iron Phosphate (LFP) nonnikel 25 persen, serta Nickel Cobalt Aluminum Oxide (NCA) sebesar 10 persen.
Saat ini, baterai NMC didominasi jenis 532 dan 622. Akan tetapi dalam jangka panjang, dua jenis tersebut akan digantikan dengan tipe 811, lantaran jenis terakhir ini menggunakan kadar nikel lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya, yakni 80 persen.
“Pada 2030, hampir semua baterai NMC yang digunakan adalah tipe 811,” tuturnya.