Bisnis.com, JAKARTA – Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap dinilai tidak akan mengurangi konsumsi gas bumi karena bersifat intermitten dan membutuhkan energi lain sebagai penopangnya.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016–2019, mengatakan bahwa penggunaan PLTS atap tidak bisa berjalan sendiri. Sifatnya yang intermittent membuatnya membutuhkan dukungan dari sumber energi lain.
“PLTS tidak bisa berdiri sendiri atau [kalau berdiri sendiri] akan mahal. Kalau berdiri sendiri itu tanpa bantuan baterai atau sumber energi lain,” katanya dalam diskusi yang digelar Jumat (10/9/2021) malam.
Arcandra menuturkan, gas bumi bisa menjadi energi primer yang diandalkan untuk menyokong penerapan PLTS atap yang memiliki keterbatasan karena kondisi cuaca.
Menurutnya, kombinasi PLTS atap dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) bisa dikembangkan secara bersamaan, karena harganya lebih murah dibandingkan dengan mengandalkan baterai untuk menyimpan listrik.
“Untuk saat sekarang gas lebih punya nilai kompetitif,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menjadikan upaya mendorong penggunaan PLTS atap sebagai prioritas pengembangan energi baru terbarukan untuk jangka pendek.
Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengatakan bahwa target bauran energi dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen di 2025 tidak memiliki hubungan dengan bisnis.
Hal itu membuat pemerintah mendorong penggunaan PLTS atap sebagai prioritas pengembangan EBT jangka pendek agar mampu mengejar target bauran energi 23 persen di 2025.