Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jalan Penyederhanaan Tarif Cukai Tembakau Masih Berliku

Kebijakan cukai hasil tembakau sebagai penopang utama penerimaan cukai di Indonesia saat ini dinilai belum optimal. Pasalnya, keberadaan struktur yang ada saat ini belum menunjang optimalisasi penerimaan cukai negara, selain itu juga bertolak belakang dari fungsi cukai itu sendiri sebagai pengendali konsumsi.
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021./ANTARA FOTO-Aprillio Akbar
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021./ANTARA FOTO-Aprillio Akbar

Bisnis.com,JAKARTA - Kebijakan cukai hasil tembakau sebagai penopang utama penerimaan cukai di Indonesia saat ini dinilai belum optimal. Pasalnya, keberadaan struktur yang ada saat ini belum menunjang optimalisasi penerimaan cukai negara, selain itu juga bertolak belakang dari fungsi cukai itu sendiri sebagai pengendali konsumsi. Struktur cukai saat ini dinilai dapat disederhakan agar kebijakan kenaikan cukai lebih efektif. 

Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Denny Vissaro menjelaskan, eksploitasi golongan dengan tarif rendah ini menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya penerimaan negara dari cukai saat ini. Denny menerangkan bahwa tarif yang lebih rendah tidak lagi dimanfaatkan oleh pabrikan kecil dan menengah saja.

Hal ini, ujar Denny, justru bertentangan dengan tujuan awal pemisahan golongan dalam cukai, karena saat ini yang terjadi adalah pabrikan besar dan pabrikan kecil berada pada golongan cukai yang sama.

“Kompleksitas tarif ini malah menciptakan loophole dan pabrikan bisa mengeksploitasi peraturan untuk mendapat tarif lebih rendah,” jelasnya dalam Webinar Target Penerimaan Cukai 2022 dan Komitmen Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau yang diselenggarakan oleh ICJR Learning Hub, Selasa (7/9/2021).

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menjelaskan bahwa dengan struktur cukai saat ini penerimaan negara menjadi tidak optimal, pabrikan rokok bisa memanipulasi produksinya agar tetap membayar cukai murah. Padahal, di tengah situasi ekonomi saat ini, pemerintah membutuhkan anggaran yang besar untuk pemulihan ekonomi nasional.

Dia pun menyayangkan pembatalan roadmap penyederhanaan cukai yang sebelumnya pernah diitetapkan Pemerintah melalui PMK 146 tahun 2017.

“Kenapa sesuatu yang baik ini tidak terjadi dan tidak pernah dipertanyakan pembatalannya? Seharusnya dari struktur strata yang 10 itu menjadi 5 strata pada 2021. Ini sangat logis. Saat ini, untuk satu pabrik, golongan cukainya dipisahkan berdasarkan jenis rokok. Ini sangat tidak make sense,” katanya.

Sementara dari segi pelanggaran dan rokok ilegal, penyederhanaan struktur cukai pun dinilai menjadi opsi yang efektif dilakukan untuk mengurangi rokok ilegal.

Ekonom Universitas Gadjah Mada Kun Haribowo menjelaskan, berdasarkan hasil analisanya terkait pengaruh berbagai variabel terhadap rokok ilegal dan penerimaan negara, terlihat bahwa tarif cukai dan layer cukai merupakan 2 variabel terpenting yang mempengaruhi rokok ilegal dan penerimaan negara.

Kun juga mengungkapkan, berdasarkan hasil survei rokok ilegal nasional yang dilakukan UGM pada 2010 hingga 2020, pelanggaran rokok ilegal secara konsisten lebih banyak pada Salah Personalisasi dan Salah Peruntukan, dan gabungannya. Hal ini berarti ada upaya pemanfaatan tarif cukai yang lebih murah.

Pelanggaran ini disebabkan struktur tarif cukai yang sangat rumit. Merujuk pada hasil penelitian yang berjudul Optimization of Excise Revenue in Indonesia, Kun menjelaskan bahwa sudah terbukti jika jumlah penyimpangan yang terjadi pada tarif yang kompleks lebih tinggi dibanding dengan penyimpangan yang terjadi pada tarif sederhana.

Kompleksitas struktur cukai juga sangat berpengaruh pada tidak tercapainya upaya pengurangan prevalensi merokok di Indonesia khususnya pada anak-anak.

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani menjelaskan, prevalensi perokok Indonesia merupakan yang tertinggi di Asean dengan kanker paru-paru menjadi 10 penyakit kanker terbanyak di Indonesia untuk laki-laki.

Kalsum juga mengingatkan bahwa meskipun angka produksi rokok menurun, namun nyatanya konsumsi rokok tetap tinggi khususnya pada populasi 10 – 18 tahun.

Kementerian Kesehatan, ujar Kalsum, terus berharap agar struktur cukai tembakau dapat terus disederhanakan. Pasalnya, penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau tidak hanya berpotensi efektif untuk meningkatkan penerimaan negara sebesar hingga Rp19 triliun, namun juga mengurangi konsumsi rokok yang tentunya akan mempengaruhi kualitas SDM Indonesia.

”Meskipun tadi datanya ada penurunan produksi rokok, tapi tidak berpengaruh terhadap penurunan prevalensi perokok anak. Kita harus memperbaiki keadaan salah satunya menyederhanakan struktur cukai,” tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper