Bisnis.com, JAKARTA - Taliban kini memegang kunci menuju kekayaan mineral senilai triliunan dolar yang belum tersentuh termasuk beberapa yang dapat menggerakkan transisi global ke energi terbarukan.
Afghanistan telah lama berjuang untuk memanfaatkan cadangannya yang besar, dan kini tengah dilirik oleh China.
Dilaporkan oleh AFP (22/8/2021), Taliban sudah dalam kesulitan keuangan sejak kembali berkuasa 20 tahun setelah penggulingan mereka. Hal tersebut disebabkan oleh donor utama mereka yang berhenti memberikan dukungan untuk Afghanistan.
Perang tanpa akhir dan infrastruktur yang buruk telah mencegah negaratersebut mendapatkan logam yang dapat meningkatkan kekayaan ekonominya. Berdasarkan laporan US Gelological Survey (USGS) di Januari, sumber daya tersebut termasuk bauksit, tembaga, biji besi, lithium dan kandungan mineral langka.
Adapun, tembaga yang dibutuhkan untuk membuat kabel listrik, menjadi komoditas panas tahun ini karena harganya melonjak hingga lebih dari US$10.000 per ton.
Sementara, lithium adalah elemen penting untuk membuat baterai mobil listrik, panel surya, dan ladang angin. Badan Energi Internasional, permintaan dunia terhadap lithium diperkirakan akan tumbuh lebih dari 40 kali lipat di 2040.
Baca Juga
Mengutip buku “The Rare Metals War” karya Guillaume Pitron, Afghanistan memiliki “cadangan besar lithium yang belum dimanfaatkan hingga hari ini.”
Afghanistan juga merupakan rumah bagi kandungan mineral yang digunakan di sektor energi bersih seperti neodymium, praseodymium, dan dysprosium. USGS memperkirakan kekayaan mineral yang belum dimanfaatkan di negara itu bisa mencapai US$1 triliun, meskipun pejabat Afghanistan telah menyebutkannya tiga kali lebih tinggi.
Meski begitu, Afghanistan telah melakukan penggalian yang lebih baik untuk batu mulia seperti zamrud dan rubi serta turmalin semi mulia dan lapis lazuli. Bisnis ini lalu terganggu dengan penyelundupan ilegal ke Pakistan. Afghanistan juga negara yang menambang bedak, marmer, batu bara, dan besi.
Seiring dengan pengambilalihan Taliban menghalangi investor asing, satu negara yang tampaknya bersedia berbisnis dengan mereka adalah China. Ekonomi terbesar kedua di dunia itu mengatakan siap untuk memiliki hubungan “persahabatan dan kooperatif” dengan Afghanistan setelah Taliban memasuki Kabul.
Adapun, perusahaan milik negara, China Metallurgical Group Corporation, memenangkan hak pada tahun 2007 untuk menyewakan deposit biji tembaga raksasa Mes Aynak selama 30 tahun dan menggali 11,5 juta ton komoditas tersebut.
Proyek untuk memanfaatkan deposit tembaga terbesar kedua di dunia yang belum dieksploitasi ini belum mulai beroperasi karena masalah keamanan, menurut tabloid Global Times yang dikelola pemerintah China.
Akan tetapi Global Times mengutip seorang sumber di Taliban yang mengatakan bahwa mereka akan “mempertimbangkan untuk membukanya kembali setelah situasi stabil, dan pengakuan internasional - termasuk pengakuan pemerintah China terhadap rezim Taliban - terjadi.”
Anggota senior di lembaga pemikir Brookings Institution di Washington, Amerika Serikat (AS) Ryan Hass mengatakan dalam sebuah blog, bahwa sementara para pemimpin China “tidak antusias” tentang pengambilalihan Taliban, “mereka tidak akan membiarkan prinsip menghalangi pragmatism.”
“Kurangnya pembangunan Beijing pada investasi utamanya di tambang tembaga Mes Aynak menunjukkan kesediaannya untuk bersabar dalam mengejar pengembalian investasi,” tulisnya seperti dilansir Channel News Asia, Minggu (22/8/2021).
Pakar Prancis Pitron mengatakan, “Orang China tidak mengkondisikan kesepakatan bisnis mereka berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.” Dia memperingatkan tidak ada kepastian bahwa Afghanistan akan menjadi mineral El Dorado.
“Untuk itu, anda membutuhkan iklim politik yang sangat stabil,” terangnya.
Dia lalu menuturkan bahwa proses antara penemuan deposit mineral dan dimulainya operasi penambangan bisa memakan waktu selama 20 tahun. “Tidak ada perusahaan yang mau berinvestasi jika tidak ada sistem politik dan hukum yang stabil,” katanya.