Setidaknya dalam dua pekan ini, dua menteri dalam kabinet Presiden Jokowi telah memberikan narasi pentingnya percepatan transisi energi sebagai langkah mitigasi perubahan iklim.
Pertama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan perubahan iklim adalah global disaster yang dampak buruknya bisa sama seperti pandemi Covid-19. Kedua, Menteri BUMN Erick Tohir meminta PLN fokus di sektor ekonomi hijau dengan mengkonversi PLTU menjadi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Meski dalam konteks yang berbeda, narasi kedua menteri itu mengkonfirmasi bahwa laju pemanasan global sebagai dampak perubahan iklim harus dimitigasi. Salah satu strateginya dengan melakukan transisi energi untuk menurunkan penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil digantikan EBT yang rendah karbon dan ramah lingkungan.
Transisi energi memiliki tujuan akhir untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor energi. Mengapa perlu percepatan transisi energi? Dari data yang disampaikan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, pada 2020 porsi bauran EBT baru mencapai 11,51%.
Jika merujuk PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran energi primer pada 2025 terdiri dari batu bara (30%), energi terbarukan (23%), minyak bumi (25%), dan gas bumi (22%). Artinya, pemanfaatan energi fosil masih dominan sehingga diperlukan target pencapaian bauran energi lebih maksimal.
Sebagai negara yang memiliki hampir semua potensi energi terbarukan, seperti energi bayu, laut, hidro, surya, panas bumi, dan bioenergi, Indonesia dapat memanfaatkan potensi tersebut untuk meningkatkan ketahanan energi dan mitigasi perubahan ikilm.
Menurut Kementerian ESDM, total potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 417,8 GW. Namun yang dimanfaatkan baru 2,5% atau sekitar 10,4 GW.
Problem konsumsi energi fosil yang masih tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di tingkat global. Meski selama pandemi terjadi semacam ‘moratorium’ sektor transportasi dan industri akibat pembatasan tetapi hal itu tidak berpengaruh pada tumpukan gas rumah kaca di atmosfer.
Itulah yang menjadi kekhawatiran terkait situasi pasca pandemi yang akan meningkatkan kembali jumlah emisi karbon.
Seperti dilaporkan International Energy Agency (IEA) dalam Global Energy Review 2021, emisi CO2 terkait energi global tahun ini diproyeksikan tumbuh sebesar 4,8% karena permintaan batu bara, minyak, dan gas seiring pemulihan ekonomi.
Dengan ini terjadi peningkatan lebih dari 1.500 Mt CO2 dan menjadi terbesar sejak pemulihan ekonomi dari krisis keuangan global lebih satu dekade lalu. Kenaikan ini diprediksi melonjak drastis pada 2023 jika dunia gagal menerapkan kebijakan pro iklim.
Kajian IEA sudah cukup menjadi peringatan bagi dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, untuk segera melakukan transisi energi. Negara berkembang akan terkena imbas krisis iklim lebih awal dibandingkan dengan negara maju. Fenomena ini disebabkan sebagian besar industri dari negara maju telah direlokasi di negara berkembang dengan minimnya mitigasi lingkungan.
Dalam perencanaan pemulihan pasca pandemi, Indonesia telah melanjutkan upaya mewujudkan ekonomi hijau dan rendah karbon. Dukungan instrumen fiskal dan pendanaan global diperlukan dalam pengurangan emisi karbon. Menurut Menkeu Sri Mulyani, dibutuhkan Rp 3.779 triliun sampai 2030. Sementara APBN hanya bisa memenuhi 26% dari total anggaran tersebut (Bisnis.com, 4/8/2021).
Transisi menuju ekonomi rendah karbon perlu didukung dana global mengingat pengurangan emisi memerlukan biaya besar. Dibutuhkan pencarian potensi sumber lain, salah satunya Green Climate Fund (GCF), entitas global pendanaan perubahan iklim di bawah PBB yakni UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).
Melalui supervisi Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, GCF sudah menyalurkan dana US$212,9 juta sampai akhir 2020.
GCF mendukung pendanaan tiga proyek mitigasi perubahan iklim, masing-masing dua proyek mendukung pengembangan EBT dan lainnya di sektor kehutanan. Ketiga proyek dimaksud adalah Geothermal Resource Risk Mitigation Project (GREM), Climate Investor One (CIO), dan Indonesia REDD+. Jumlah dana hibah GCF tersebut bisa memberi gambaran soal besaran dana dalam investasi tranisisi energi.
Dalam posisi BKF sebagai pemegang mandat supervisi dana CGF, dengan demikian ada beberapa lembaga yang mengelola atau menjadi regulator transisi energi. Secara kelembagaan, publik sudah mengenal lembaga lain yang selama ini diakui sebagai pemangku kepentingan transisi energy seperti Dewan Energi Nasional, Kementerian ESDM, Kementerian LHK dan Bappenas.
Strategi transisi energi tidak bisa lepas dari peran sektor lain, dalam hal ini swasta dan masyarakat. Banyak aspek dalam sektor energi yang tidak hanya bertumpu pada kebijakan pemerintah tapi juga melibatkan masyarakat selaku pengguna.
Akselerasi transisi energi dapat dilakukan dengan menetapkan skema pendanaan berkelanjutan, utamanya aspek investasi, sebagai pendorong penguatan kemampuan teknologi dan kapasitas dalam negeri.
Oleh karena itu, diperlukan instrumen fiskal untuk mendukung komitmen pemerintah terkait perubahan iklim. Untuk transformasi Indonesia menuju ekonomi hijau, transisi energi adalah program sangat strategis, yang selain membutuhkan investasi besar, juga sinergi antar lembaga.
Pada fase ini kita kembali diingatkan, investasi energi hijau bukan soal Indonesia hari ini, namun bagaimana kebijakan itu akan berdampak positif bagi generasi mendatang.