Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia diminta untuk tidak perlu tergesa-gesa melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan dengan mematikan pembangkit energi fosil.
Anggota Dewan Energi Nasional Herman Daniel mengharapkan pemerintah tidak serta merta mematikan pembangkit tenaga fosil sebelum ada sumber energi lain yang jelas. Dia juga menyebutkan, Indonesia belum mencapai puncak penggunaan energi. Berbeda dengan negara di Eropa dan Amerika.
“Mereka sudah mencapai puncak dan sekarang transisi,” katanya dalam siaran pers, Rabu (4/8/2021).
Dia mengatakan, Indonesia masih membutuhkan berbagai pembangkit saat ini, termasuk PLTU batu bara, demi menggerakkan perekonomian nasional.
Untuk itu, menurutnya, Indonesia jangan buru-buru berencana menghentikan operasi pembangkit energy fosil yang ada saat ini sebelum ada sumber energi yang bisa menggantikan pasokan dari pembangkit saat ini,.
“Jangan sampai terjebak. Sudah terlanjur mematikan PLTU, ternyata pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) tidak siap,” kata dia.
Baca Juga
Dia mengingatkan, pembangkit fosil masih mendominasi pasokan energi di Eropa dan Amerika. Meski naik, pembangkit EBT masih rendah kontribusinya dalam penyediaan energi di Eropa dan Amerika.
Penyebab utama kondisi itu adalah sifat intermitten pembangkit EBT. Pembangkit surya dan angin, yang disebut paling efisien dibanding EBT lain, belum selesai dengan masalah ini. Sebab, energi dari pembangkit angin dan surya tidak bisa terus menerus tersedia.
PLTS hanya bisa menghasillkan daya jika mendapat sinar matahari memadai. Sementara polusi, iklim, dan siklus siang-malam membuat sinar matahari tidak bisa terus tersedia. PLTB pun kurang lebih sama.
“Dengan teknologi sekarang, persoalan ini (intermitten) tidak akan selesai,” kata dia.
Dia melanjutkan, dunia membutuhkan teknologi baru untuk meningkatkan kemampuan baterai menyimpan energi. Apabila kapasitasnya bisa ditingkatkan, maka persoalan ini bisa diselesaikan.
Herman juga mengakui, sulit mengelakkan RUU EBT terkesan membela kepentingan oligarki dan asing. Beberapa klausul dalam RUU itu memicu tudingan tersebut.
Dia mengaku mendengar sejumlah pihak menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor perekonomian Indonesia, termasuk energi. Caranya dengan membuat regulasi yang sesuai kepentingan mereka.
“Soal aturan wajib beli (listrik dari IPP EBT), tidak perlu. Karena itu perlu perencanaan permintaan dan pasokan. Perlu perizinan pembangunan pembangkit,” ujarnya.