Bisnis.com, JAKARTA -- PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia menyebut hanya 30 persen dari 40 perusahaan pertambangan besar yang telah mengadopsi pelaporan transparansi pajak pada tahun 2020. Sementara sisanya, laporan pajaknya belum transparan.
Hal itu terungkap dalam publikasi terbaru PwC dalam judul Mine 2021 Great Expectation, Seizing Tomorow.
Sacha Winzenried, PwC Indonesia Mining Advisor mengatakan bahwa transparansi pajak, yang merupakan salah satu metrik utama peringkat Environmental, Social dan Good Governance (ESG), memberi kesempatan kepada perusahaan pertambangan untuk menyoroti kontribusi keuangannya yang signifikan kepada masyarakat.
"Meskipun transparansi pajak adalah cara mendasar bagi perusahaan untuk menunjukkan komitmennya terhadap isu-isu ESG, hanya 30% dari 40 Perusahaan Besar yang mengadopsibpelaporan transparansi pajak pada tahun 2020," katanya dalam keterangan resmi, Senin (2/8/2021).
Sacha menambahkan perusahaan pertambangan harus melakukan transparansi pajak sebagai bagian esensial dari strategi ESG-nya.
"Ini akan mendukung sektor pertambangan untuk lebih transparan mengenai pajak dan sewa yang dibayarkan dan manfaat sosial yang diberikan oleh kontribusi tersebut, khususnya di daerah terpencil tempat mereka beroperasi," ujarnya.
Bisnis telah beberapa kali melalukan liputan mendalam mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, khususnya dalam bidang perpajakan.
Hasil liputan Bisnis menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan pertambangan besar tak sepenuhnya patuh terhadap ketentuan pajak maupun ketentuan pungutan lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Perusahaan AO misalnya, pernah disorot karena melakukan praktik penghindaran pajak. Melalui anak usahanya di Singapura, perusahaan itu berupaya mengalihkan keuntungan ke Singapura yang merupakan negara suaka pajak.
Alhasil, nilai pajak yang dibayar di Indonesia lebih rendah dibandingkan kewajiban yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan tersebut.