Bisnis.com, JAKARTA—PT PLN (Persero) akan meningkatkan investasi yang diarahkan kepada pengembangan energi baru terbarukan atau EBT untuk mendorong target pencapaian net zero emission pada 2060.
Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa proyek penambahan pembangkit ke depan akan lebih fokus pada pembangkit EBT. PLN tengah mendorong transisi energi dan dekarbonisasi dengan strategi bertahap guna mencapai target nol emisi karbon pada 2060.
“PLN akan mulai memensiunkan generasi pertama PLTU subcritical pada 2030 dan dilanjutkan pada tahun berikutnya, sehingga pada 2060 seluruh PLTU digantikan pembangkit berbasis EBT,” kata Darmawan dalam dalam diskusi daring Managing Megaprojects, dikutip dari siaran pers, Kamis (29/7/2021).
Dia menuturkan, dalam tahun-tahun mendatang akan banyak megaproyek PLN untuk membangun pembangkit EBT. Meskipun, saat ini kondisi ketenagalistrikan nasional tengah kelebihan pasokan, PLN berkomitmen akan terus meningkatkan bauran EBT sesuai dengan target yang dicanangkan.
“Dengan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik 4,6 persen, maka kebutuhan kelistrikan pada 2060 sebesar 1.800 TWh. Berarti akan ada penambahan kapasitas pada 2060 sebesar 1.500 TWh atau lima kali lipat dari kapasitas listrik di tahun ini sebesar 300 TWh,” ujar Darmawan.
Melihat kondisi tersebut, direncanakan penambahan kapasitas pembangkit untuk menutup selisih kebutuhan dan pasokan listrik akan didominasi dengan EBT. Namun, bukan berarti PLN akan membangun pembangkit baru dan menutup pembangkit lama.
Beberapa pembangkit yang sudah berjalan akan dilakukan program co-firing, memasifkan penggunaan kendaraan listrik, dan mengonversi pembangkit listrik primer tenaga diesel dan batu bara dengan pembangkit EBT secara bertahap.
Tentunya, kata Darmawan, PLN harus tetap mempertimbangkan kondisi supply dan demand agar kondisi oversupply yang saat ini terjadi dapat membaik. Dengan kondisi saat ini, keuangan PLN cukup terbebani karena masih harus membayar listrik dari pihak ketiga yang hanya diutilisasi sebagian.
“Pemerintah menetapkan bahwa PLN harus membayar semua listrik yang dihasilkan oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, saat ini PLN harus cermat dalam menghitung dan mengalokasikan pasokan listrik agar tidak memberikan dampak yang jauh lebih buruk bagi keuangan,” kata Darmawan.
Sementara itu, Founding Director of The University of Oxford's program on Sustainable Capital-Intensive Industries Atif Ansar mengingatkan tiga faktor yang berpotensi memicu kegagalan megaproyek.
Faktor pertama adalah pelaku proyek terlampau optimistis dan tidak melihat adanya kerikil yang menghambat keberlangsungan proyek tersebut.
Kedua, dalam membuat rancangan induk megaproyek, inisiator akan mengerek nilainya supaya dapat lebih mudah mendapatkan fasilitas keuangan.
Dalam hal ini, tidak sedikit inisiator megaproyek terlalu besar menggelembungkan nilainya tanpa melihat faktor risiko yang menyertainya.
"Faktor terakhir adalah kompleksitas. Tidak sedikit inisiator proyek membuat perbandingan secara linear, padahal dalam praktiknya dalam membangun sebuah megaproyek banyak faktor yang harus dihitung secara paralel," jelas Atif.
Darmawan pun sependapat dengan Atif. Oleh karena itu, untuk pembangunan pembangkit EBT ke depan, PLN akan melakukannya dengan cermat.
Apabila pasokan listrik di suatu daerah sudah melebihi kapasitas, pembangkit EBT sebaiknya tidak dibangun.
“Pertama, keselarasan pasokan dan kebutuhan. Kedua, aspek lingkungan dan berikutnya sudah barang tentu keterjangkauan karena kami ingin semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkannya,” kata Darmawan.