Bisnis.com, JAKARTA - Keberadaan Rancangan Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (RUU HKPD) diharapkan menjadi solusi atas permasalahan fiskal daerah dan menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah untuk merekturisasi pengelolaan keuangan daerah.
Keluarannya, kebijakan baru tersebut diharapkan mampu menjaga fiscal sustainability dan optimasi pencapaian kinerja pemerintah daerah.
Pada era otonomi, masih terlihat sejumlah persoalan mendasar seperti ketimpangan antar pemerintah daerah ‘menurun’ tetapi ketimpangan antarindividu belum membaik. Data BPS menunjukkan, penurunan ketimpangan antar pemerintah daerah (indeks Wiliamson) dalam 15 tahun terakhir mencapai 0,02 poin, yakni 0,75 poin pada 2005 menjadi 0,73 pada 2019.
Adapun ketimpangan individu melonjak 0,03 poin, yaitu dari 0,340 pada 2005 menjadi 0,370 pada 2019. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah kerap kebablasan dalam mengelola keuangannya. Kinerja kesehatan fiskal pemerintah daerah pun masih rendah dan timpang, terutama di luar Jawa-Bali.
Tercatat Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) 2020 tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta dengan nilai 0,71, sedangkan Provinsi Papua 0,042. Artinya, belanja daerah Provinsi DKI Jakarta 71,07% dibiayai oleh pendapatan asli daerah (PAD), sementara di Provinsi Papua hanya 4,27%.
Kesenjangan ini bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah dan cenderung menghambat kemandirian fiskal daerah. Kondisi yang tidak efisien tersebut disebabkan beberapa hal.
Pos anggaran masih dominan digunakan untuk belanja pegawai dan sistem penyerapan anggaran yang rendah dan tidak optimal, terutama belanja modal dan belum diterapkannya kebijakan kerangka pengeluaran jangka menengah.
Keterbatasan ini berimbas pada pendanaan program dan kegiatan yang langsung dapat meningkatkan pelayanan publik. Akibatnya, serapan anggaran yang besar tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Persoalan lain, rasio sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) terhadap realisasi belanja daerah juga tinggi, sehingga ujungnya dana yang menganggur pun besar. Data Kementerian Keuangan (2020) menunjukkan SiLPA mencapai Rp234,7 triliun lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata mencapai Rp33,55 triliun, di mana sebaran SiLPA tinggi terdapat di 197 daerah yang mencakup 9 provinsi dan 188 kabupaten/kota.
SilLpa yang begitu tinggi mengindikasikan belum optimalnya pemanfaatan APBD dalam hal pelayanan publik. Di satu sisi, pemerintah daerah selalu menuntut transfer lebih besar terhadap pusat yang menyebabkan kemandirian daerah rendah atau yang dikenal dengan istilah fenomena flypaper effect.
Fenomena ini terjadi akibat daerah belum sepenuhnya mampu mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan, terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah (PDRD). Padahal, penerimaan PDRD merupakan prioritas dalam struktur APBD, karena esensi kemandirian adalah melepaskan diri dari ketergantungan fiskal pusat.
Indikator kemandirian fiskal daerah terefleksikan dari persentase besarnya kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah.
Melalui draf RUU HKPD terdapat beberapa penyempurnaan terhadap potensi PAD sebagai basis utama pendorong kemandirian daerah. Subtansi yang ditawarkan dalam RUU yakni pemberian sumber-sumber perpajakan baru di daerah, penyederhanaan jenis dan retribusi daerah serta harmonisasi dengan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ketentuan ini diharapkan berbanding lurus dengan penguatan kinerja ekonomi dan daya saing daerah serta tidak resisten terhadap pelaku usaha.
Demikian juga dengan Transfer Kuangan Daerah (TKD), perannya sangat strategis di tengah tingginya persoalan kesenjangan kemandirian fiskal. Desain ulang ini sudah sepatutnya memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan (spasial) dan kebencanaan di masing-masing daerah.
Harapannya tidak ada lagi daerah ber-PAD kecil dengan belanja besar, dana bagi hasil rendah, dana alokasi umum yang timpang, dan program yang tidak tepat sasaran. Hanya saja, salah satu yang menjadi catatan penting atas Draf RUU HKPD ini adalah menghapus Dana Insentif
Daerah sebagai bagian dari TKD. Padahal skema insentif akan meningkatkan motivasi daerah, karena kultur pemerintahan Pemda mudah terpacu pada akselarasi pelayanan publik. Khawatirnya, penghapusan tersebut berimplikasi pada penurunan kinerja daerah.
Kinerja daerah yang baik berdampak pada kualitas belanjanya, karena dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah secara efektif, efisien, tepat waktu, transparan dan akuntabel.
Pada dasarnya kualitas belanja dapat dilihat dari beberapa kompenen seperti ketepatan waktu yang mencakup tepat waktu penetapan APBD, tepat waktu realisasi belanja dan tepat waktu realisasi pendapatan.
Kemampuan daerah dalam mengatur ketepatan alokasi belanja akan mendorong kemandirian fiskal daerah yang berkelanjutan dan inklusif. Selain itu daerah juga perlu membuat kerangka kebijakan pengeluaran jangka menengah sebagai salah satu jalan untuk meminimalisasi ketimpangan fiskal vertikal dan horizontal serta menghindari terjadinya fenomena flypaper effect.
Faktor kunci untuk melaksanakan ini adalah SDM yang berkualitas dan kesiapan daerah dalam mengusung ekonomi digital, e-commerce, otomatisasi, dan responsif terhadap setiap kebijakan.