Bisnis.com, JAKARTA – Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), pemerintah dan DPR diminta untuk menyesuaikan konsep tarif maksimum dan mengatur skema multitarif dalam Pajak Dan Retribusi Daerah (PDRD).
Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Prof. Mardiasmo menyatakan bahwa diperlukan pengaturan yang lebih rinci terkait dengan pajak daerah yang diatur dalam RUU HKPD.
Menurut Mardiasmo, pemerintah khususnya perlu mencermati tarif maksimum pajak daerah. Pasalnya, dengan ada rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, sejumlah pajak seperti pajak restoran dan hotel juga akan ikut naik karena termasuk dalam goods and service tax (GST).
Sementara itu, dia menambahkan pajak restoran dan hotel merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah.
“Sebetulnya kalau di negara maju, tidak ada pajak daerah. Sehingga kalau naik sampai 12 persen, mungkin perlu ada semacam batas tarif maksimum. Supaya nanti daerah ada kaitannya. Karena PDRD ini juga bagian dari RUU HKPD,” jelas Mardiasmo Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja RUU HKPD dengan pakar secara virtual, Rabu (7/7/2021).
Dia lalu mencontokan misalnya tarif listrik atau PBJT Tenaga Listrik. Menurutnya, diperlukan skema multi tarif untuk PBJT Tenaga Listrik yang merupakan single tariff sebesar 10 persen, untuk memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembedaan tarif PBJT listrik di daerahnya masing-masing berdasarkan jenis penggunaannya.
Baca Juga
Mardiasmo, yang pernah menjabat Wakil Menteri Keuangan pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo di 2014, melihat dalam praktiknya terdapat kecendrungan pemerintah daerah dalam memaksimalkan tarif PBJT 10 persen atas setiap penggunaan listrik.
Meski demikian, dia mencatat bahwa tarif maksimum PBJT listrik kini sudah menerapkan skema multitarif, namun belum ada ketentuannya.
Mardiasmo mengusulkan adanya pengaturan multitarif dalam PDRD. Misalnya, tarif maksimum PBJT listrik diusulkan menjadi tiga golongan yaitu tarif umum 10 persen, untuk industri sebesar 3 persen, dan listrik yang dihasilkan sendiri sebesar 1,5 persen.
“Atau yang men-generate [menghasilkan] pembangkit listrik sendiri seharusnya diberikan insentif. Jangan malah diberikan beban yang besar. Ini barangkali dalam Undang-Undang HKPD, pajak daerah dimungkinkan adanya pengaturan multi tarif. Sehingga bisa lebih adil dan sesuai dengan filosofi pajak itu sendiri,” pungkasnya.