Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan tengah menyusun revisi pada Permendag No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Revisi aturan tersebut untuk memastikan pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa menikmati peluang dan kesempatan pertumbuhan ekonomi digital. Saat ini, struktur UMKM nasional dinilai belum tangguh untuk menghadapi tantangan yang mengemuka seiring berkembangnya perdagangan secara elektronik.
“Perdagangan melalui sistem elektronik ini sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Disrupsi ini seharusnya membawa keuntungan dan terobosan untuk bisa menciptakan pelaku usaha yang tangguh. Namun memang perlu ada urutannya," kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam webinar Kadin Indonesia dan Shopee, Senin (14/6/2021).
Untuk bisa menangkap peluang yang ada, Lutfi mengatakan UMKM nasional harus bisa masuk ke sekfor formal dengan akses pembiayaan yang terjamin. Saat ini, menurutnya, struktur UMKM nasional saat ini masih ringkih karena tak semua berstatus formal.
Kebanyakan UMKM masih dalam kategori informal dengan akses pembiayaan yang terbatas meski secara jumlah mendominasi roda bisnis nasional.
Dia memberi contoh pada kontribusi ekspor dari usaha berskala kecil dan menengah yang hanya mencapai US$5 miliar pada 2020. Jumlah tersebut hanya setara dengan 15 persen dari total ekspor. Pada saat yang sama, usaha berskala kecil dan menengah mendominasi jumlah eksportir dengan proporsi mencapai 85 persen dari sekitar 15.000 unit usaha.
Baca Juga
“Jadi yang pertama ada menjadikan UMKM sektor formal. Kedua UMKM ini harus kuat. Jika melihat struktur di ekspor, UMKM ini masih ringkih. Jadi tugas saya sebagai wasit adalah menjaga mereka bersama-sama dengan Menteri UKM dan Menteri Investasi. Kalau [UMKM] belum kuat, mereka bisa disambar, bisa habis oleh yang lain-lain. Jadi ini terobosannya [dari PMSE] adalah positif, tetapi kalau tidak dijaga bisa jadi hal negatif,” kata Lutfi.
Dia mengemukakan salah satu permasalahan dalam perdagangan di platform digital adalah persaingan tidak seimbang antara pelaku domestik dan pelaku cross-border.
Meski tidak secara terperinci menjelaskan bagaimana persaingan tidak seimbang tersebut, Lutfi mengatakan Kemendag dan Kemenkop UKM tengah bekerjasama menyusun regulasi demi mencegah terjadinya kecurangan.
“Tidak pernah ada niat pemerintah untuk proteksi. Hal tersebut tidak ada di DNA Indonesia karena kita terbiasa berkolaborasi. Namun perlu dipastikan tidak ada kecurangan-kecurangan. Kita tidak bisa bersaing dengan situasi yang tidak imbang. Jadi bukan hanya free trade, tetapi juga fair trade,” kata Lutfi.
Lutfi sebelumnya menyampaikan bahwa ekonomi digital Indonesia berpeluang tumbuh 8 kali lipat pada 2030 dibandingkan dengan nilainya pada 2020. Tahun lalu, nilai transaksi ekonomi digital tercatat mencapai Rp632 triliun dan bisa mencapai Rp4.531 triliun pada 2030.
Perdagangan digital diperkirakan akan menjadi kontributor terbesar dengan porsi mencapai 34 persen stau setara dengan Rp1.900 triliun. Sumber pertumbuhan lain bakal disumbang oleh kerja sama business to business dengan nilai Rp763 triliun, pelayanan kesehatan Rp471,6 triliun, online travel agent Rp575 triliun, dan bisnis ride hailing Rp401 triliun.