Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Presiden Harus Bangun Industri Energi Baru dan Terbarukan

Salah satu pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) yang paling potensial untuk dikembangkan adalah tenaga surya.
Suasana instalasi panel surya dari ketinggian di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Penggunaan pembangkit listrik tenaga surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif dan efisien. Bisnis/Himawan L Nugraha
Suasana instalasi panel surya dari ketinggian di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Penggunaan pembangkit listrik tenaga surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif dan efisien. Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo dinilai harus mulai mengembangkan industri energi baru dan terbarukan untuk mengejar bebas emisi karbon pada 2050.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan industri energi baru dan terbarukan (EBT) dapat dibangun dengan pembangunan pembangkit energi baru dan terbarukan secara masif.

Menurut dia, salah satu pembangkit EBT yang paling potensial untuk dikembangkan adalah tenaga surya dengan potensi sumber daya yang melimpah di dalam negeri.

"Karena kalau user di tenaga surya tidak besar, maka industri surya tidak berkembang, sedangkan kita tahu tenaga surya kita punya potensi yang cukup besar," katanya dalam webinar Soft Launching Virtual dan Bedah Buku Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia, Selasa (27/4/2021).

Fabby mengatakan Indonesia harus mencapai puncak emisinya pada 2030 dan harus turun secara derastis sampai dengan 2050. Apabila Indonesia mengalami keterlambatan dalam upaya tersebut, hal itu akan berdampak kepada pengembangan energi bersih ke depannya.

Fabby menjelaskan jika Indonesia terlembat mencapai target-target pengurangan emisi, upaya yang dilakukan nantinya akan menjadi lebih mahal.

"Ini yang menjadi perhatian bagaimana kebijakan energi kita kompatibel dengan net zero emission. karena kalau kita lihat kebijakan hari ini sebenarya belum kompatibel dengan net zero emission. Dengan kebiajakn sekarang kita masih menggalakan energi fosil," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto mengatakan, pengembangan EBT di dalam negeri masih terbentur persoalan keekonomian yang disebabkan perbandingan dengan listrik yang dihasilkan energi fosil.

Menurutnya, harga jual listrik EBT selalu dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara. Pasalnya, dari total 63 gigawatt yang dimiliki Indonesia, sekitar 65 persen pembangkit masih menggunakan batu bara.

"Lagi-lagi kalau kita mau masuk EBT bagaimana dari sisi harga yang menjadi ukuran yang dinilai efisien tidak efisiennya harga dengan PLTU batu bara sehingga terus menerus tidak ketemu karena saat ini listrik batu bara masih paling murah," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper