Bisnis.com, JAKARTA - Ditandatanganinya shareholder agreement oleh empat BUMN energi dan tambang pada 16 Maret 2021 menandai terbentuknya Indonesia Battery Corporation (IBC). Keempat BUMN tersebut adalah PT Pertamina, PT PLN, PT MIND ID, dan PT ANTAM.
Korporasi ini akan mengelola ekosistem industri baterai kendaraan bermotor yang terintegrasi dari hulu hingga hilir guna memperkuat ketahanan energi nasional. Kepemilikannya sama rata, masing-masing 25%.
Dengan semakin menuanya bumi, keberadaan IBC ini sangat mendesak dan menjadi solusi bagi isu pemanasan global dan efek rumah kaca. Bahan bakar fosil kelak akan habis. Lahirnya mobil listrik menjadi tumpuan harapan jutaan umat manusia dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan.
Baterai electric vehicle (EV) akan menjadi penentu kualitas kehidupan manusia ke depan. Kabar baiknya, Indonesia adalah negara terbesar penghasil bahan bakunya, yaitu nikel. Porsi cadangan nikel Indonesia mencapai 24% dari total cadangan nikel dunia.
Indonesia juga unggul dari sisi demand. Potensi kendaraan roda dua mencapai 8,8 juta unit dan 2 juta unit untuk roda empat pada 2025. Competitive advantage dari supply chain yang ada, setidaknya 35% komponen EV dapat bersumber dari dalam negeri.
Tumpah ruahnya nikel sebagai potensi bisnis dunia tidak luput dari pantauan big fish company di bidang EV. Siapa yang tidak mengenal Tesla. Pemerintah dan Tesla berencana bekerjasama dalam produksi baterai EV.
Perusahaan baterai EV lainnya juga tidak mau kalah agresif mengambil kesempatan ini. Ada LG dari Korea Selatan dan Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) dari China. Tawaran menggiurkan membanjiri pasar EV Indonesia. Indonesia bebas mau kerja sama seperti apa.
Keberadaan IBC selaras dengan aturan main yang sebenarnya sudah ada. Industri ini merupakan bagian percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan berdasarkan Perpres No. 55 Tahun 2019. Perpres ini juga mengamanatkan bahwa pabrik harus dibangun di Indonesia.
Cadangan nikel sebagai penggerak utama bisnis juga melimpah sejak bijih nikel dilarang untuk diekspor oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Sebagai perusahaan yang mengemban amanah dan tugas yang strategis, IBC perlu mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki. Dukungan empat BUMN besar dan warisan sumber daya yang melimpah perlu dilaksanakan secara efektif.
Penulis menawarkan lima faktor yang perlu diperhatikan, yakni operating company, demand-based product, kontrak penjualan, kerja sama teknologi, dan gap funding.
Pertama, operating company. Industri ini akan diorkestrasi dan dimobilisasi oleh IBC dari hulu sampai hilir. Mulai dari pengolahan nikel, material precursor dan katoda, hingga battery cell, pack, energy storage system (ESS), dan recycling.
Ada baiknya IBC menjalin kerja sama dengan perusahaan penguasa pangsa pasar di setiap lini bisnis. Misalnya perusahaan pengolahan nikel, scope ini dikuasai salah satu swasta dengan market share terbesar. Ini selaras dengan Pasal 6 Ayat (3) Perpres 55/2019 yang mengamanatkan gotong royong pemerintah dan swasta.
Kedua, produk harus sesuai demand. IBC perlu memilih baterai apa yang akan dibuat sekarang dan nanti. Saat ini produk yang paling laku hybrid electric vehicle (HEV). Maklum, harganya yang murah sesuai kocek masyarakat Indonesia.
Kalau mau dijual keluar, baterai full listrik atau battery electric vehicle (BEV) dapat menjadi pilihan. Secara global, Tesla adalah market leader mobil listrik yang menjadikan produk ini laku di pasar dunia.
Ketiga, kontrak penjualan. IBC perlu mengadakan kontrak dimaksud dengan pemilik market share mobil listrik terbesar di dunia. Misalnya Tesla Model 3 yang mencetak sales terbesar 2019. Kepastian penjualan ini mendukung keberlangsungan bisnis. Keempat, kerja sama teknologi. Hal ini krusial karena membuat baterai EV tidak mudah.
Produk ini menghadapi permasalahan seperti degradasi baterai dan perlu standarisasi kualitas. Kebetulan, dua perusahaan baterai EV top dunia (LG dan CATL) sudah menjajaki kerja sama dengan Indonesia. Momen ini dapat digunakan IBC untuk menggandeng keduanya dalam peningkatan teknologi.
Kelima, gap funding. Investasi baterai EV membutuhkan dana yang tidak ‘kaleng-kaleng’. Bayangkan saja, membuat baterai di lumbung nikel terbesar di dunia. Momennya pas sekali. Indonesia baru saja melahirkan Sovereign Wealth Fund bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Investment vehicle bermahzab equity financing ini sangat jauh dari isu utang. Nantinya investor besutan LPI akan patungan dengan IBC dan mitra lain di anak perusahaan yang butuh suntikan.
Sebagai operating company yang futuristik dengan mitra teknologi yang mumpuni, IBC seyogyanya memiliki produk yang unggul dengan kontrak penjualan yang menguntungkan serta memiliki pendanaan kuat. Korporasi ini diharapkan dapat mewujudkan baterai EV yang kompetitif dan berkualitas.