Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu mengantisipasi maraknya penghindaran pajak atau tax avoidance oleh wajib pajak korporasi yang dipicu oleh terbukanya celah praktik tersebut menyusul insentif tarif pajak penghasilan badan dan tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Pada tahun lalu, pemerintah telah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau korporasi dari 25 persen menjadi 22 persen. Relaksasi berlanjut pada 2022 di mana tarif ditetapkan sebesar 20 persen.
Kebijakan tersebut membuka celah bagi wajib pajak korporasi untuk mengecilkan penghasilan dengan tujuan menunggu implementasi tarif 20 persen pada tahun depan.
Wajib pajak badan pun memiliki alasan kuat lantaran pandemi menekan seluruh sendi-sendi bisnis sehingga berdampak pada penghasilan yang diperoleh pelaku usaha. Sekadar informasi, tax avoidance acap dimanfaatkan oleh wajib pajak karena bersifat legal atau tidak melanggar hukum.
Akan tetapi, cara ini tidak sesuai dengan semangat pembuat kebijakan dan berisiko menggerus penerimaan negara di tengah beratnya beban belanja.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan wajib pajak badan memiliki ruang untuk mengecilkan penghasilan dengan memanfaatkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 72.
Baca Juga
“Dengan PSAK 72, perusahaan dapat menunda pengakuan pendapatan ke tahun berikutnya, khususnya untuk transaksi akhir tahun. Jadi, perusahaan menerapkan creative accounting dan legal planning supaya pendapatan diakui di 2022,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (7/4).
Pemerintah sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat untuk meminimalisasi praktik tax avoidance, yakni dengan mengacu pada Pasal 17 PP No. 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan.
Pasal tersebut menuliskan, dengan Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen), dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu yang sesuai kebijakan pemerintah.
Pada dasarnya, saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts revenues).
Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan pemerintah, Dirjen Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.
Maksud dari hal-hal tertentu itu adalah saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit dari nonperforming loan dalam rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan pemerintah, atau saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi wajib pajak karena adanya perubahan PSAK.
Dengan kata lain, otoritas pajak perlu mengeluarkan aturan khusus tentang pengakuan penghasilan dan biaya.
Selain mencegah dispute, regulasi khusus tersebut juga berfungsi mengurangi penggeseran penghasilan ke tahun dengan tarif pajak lebih rendah.
Akan tetapi menurut Prianto, PP No. 94/2010 hanya untuk menerapkan konsep matching cost against revenue. Selama ini, pengakuan biaya digeser mengikuti pengakuan penghasilan agar konsep matching tersebut tetap terpenuhi.
“Memang butuh Perdirjen khusus. Penggeseran pendapatan tetap dapat dilakukan karena pengakuan pendapatan itu secara umum tidak diatur di ketentuan pajak,” ujarnya.