Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Tekstil Nilai Pemerintah Masih Pro Impor

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menilai saat ini pemerintah berlebihan memfasilitasi impor dibandingkan produk dalam negeri.
Pedagang menata kain tekstil di pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (11/2/2020)./Bisnis-Arief Hermawan
Pedagang menata kain tekstil di pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (11/2/2020)./Bisnis-Arief Hermawan

Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menilai saat ini pemerintah berlebihan memfasilitasi impor dibandingkan produk dalam negeri.

Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Riza Muhidin mencontohkan untuk bahan baku impor ada Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), ada Kawasan Berikat (KB), sedangkan untuk fasilitas bahan baku lokal tidak memiliki.

"Bahkan untuk barang jadi impor difasilitasi lewat Pusat Logistik Berikat (PLB) E-Commerce sehingga barang impor bisa langsung penetrasi pasar domestik? Untuk barang jadi lokal fasilitas apa yang dikasih?” katanya melalui siaran pers, Minggu (4/4/2021).

Riza menjelaskan target Kementerian Perindustrian mengenai substitusi impor hingga 35 persen sejalan dengan arahan Presiden Jokowi, dan arahan Presiden ini harus didukung oleh seluruh instansi di bawahnya.

Ikatsi pun menyarakan agar Presiden Jokowi untuk tidak ragu mengistirahatkan para oknum birokrat dan para pejabat di eselon 1 ataupun eselon 2 dibanyak kementerian yang pro impor.

Menurutnya, saat ini semua stakeholder industri TPT telah satu visi untuk mengendalikan impor dan berpihak produsen dalam negeri dari hulu ke hilir. Jadi, menurut Riza tinggal instansi pemerintah semuanya harus satu suara terhadap hal yang sama, jangan lagi pro terhadap barang impor murah.

"Ulah para oknum ini selalu sama, selalu menghalangi upaya penguasaan pasar dalam negeri untuk produk lokal termasuk menghalangi kebijakan safeguard, tapi getol memberikan fasilitas pada produk impor," katanya.

Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) juga mendesak agar kebijakan safeguard untuk barang jadi garmen segera diberlakukan. Hal itu dibutuhkan lantaran makin tertekannya pelaku IKM garmen Tanah Air, oleh masifnya gempuran barang jadi impor dari China dan Thailand.

Sekretaris Jenderal APIKMI Widia Erlangga mengakui bahwa satu tahun belakangan ini, semua sektor usaha di dalam negeri dipaksakan menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi Covid-19. Menurutnya, pemerintah seringkali menyanjung IKM atau industri kecil menengah lantaran dianggap mampu bertahan dalam situasi yang sulit seperti saat ini.

"Namun, pernyataan pemerintah selalu bertolak belakang dengan keadaan yang IKM alami saat ini," katanya.

Ketua Bidang Organisasi API Jawa Barat Kevin Hartarto menyatakan bahwa status net eksportir industri TPT nasional bisa berubah menjadi net importir pada tahun depan jika safeguard tersebut tidak segera diimplementasikan. Pasalnya, data menunjukan tren peningkatan impor garmen yang signifikan selama 2017—2019.

Kevin menjelaskan bahwa setengah pos tarif produk garmen menunjukkan tren peningkatan volume impor yang signifikan dalam 3 tahun terakhir. "Bahkan, ada satu pos tarif garmen yang volume impornya naik hingga 200 persen lebih tinggi dari tahun lalu," ujar Kevin.

Kevin menilai, maraknya impor garmen di dalam negeri dikarenakan pabrikan garmen Tiongkok berkontribusi sekitar 25 persen dari total kebutuhan garmen global sedangkan Indonesia baru 1,7 persen.

Selain itu, pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian dagang bebas (FTA) dengan China yang sehingga bea masuk garmen Tiongkok jadi 0 persen ditambah RCEP atau ASEAN+5 yang meliberalisasi tarif TPT kita bagi 11 negara tetangga.

Kevin menilai pemberlakuan safeguard sangat diperlukan untuk menyelamatkan IKM dan UMKM karena sebagian besar pelaku usaha produksi garmen adalah IKM dan UMKM.

“Implementasi safeguard selain mengurangi impor dan menyelamatkan devisa, yang lebih penting adalah kembali merangsang penciptaan banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan menyerap tenaga kerja," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ipak Ayu
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper