Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kadin: Tak Bikin Harga Turun, Impor Daging Kerbau India Justru Gusur Pasar Sapi Lokal

Alih-alih membentuk harga ideal baru yang lebih terjangkau, kehadiran daging kerbau India justru menggusur eksistensi pasar daging segar yang dipasok dari sapi lokal.
Pedagang daging sapi segar melayani konsumen, di Pasar Modern, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (2/6/2019)./Bisnis-Endang Muchtar
Pedagang daging sapi segar melayani konsumen, di Pasar Modern, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (2/6/2019)./Bisnis-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA - Impor daging kerbau India yang rutin dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk stabilisasi pasokan dinilai tak berhasil membuat harga komoditas tersebut makin terjangkau. Alih-alih membentuk harga ideal baru, kehadiran daging kerbau India justru menggusur eksistensi pasar daging segar yang dipasok dari sapi lokal.

Ketua Komite Tetap Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Yudi Guntara Noor mengemukakan bahwa daging kerbau beku kebanyakan tidak dijual dalam bentuk beku di pasar tradisional. Namun, daging kerbau beku tersebut dijual sebagai daging sapi segar setelah dicampur dengan daging sapi segar dari produksi lokal.

“Kalau di pasar becek, [daging kerbau beku] ini dijual sebagai daging segar. Mereka [pedagang] mencairkan lalu mencampurnya dengan daging sapi,” kata Yudi dalam diskusi daring yang digelar Meat & Livestock Australia, Senin (22/3/2021).

Yudi menjelaskan maraknya praktik ini tak lepas dari preferensi konsumen yang lebih memilih daging segar dibandingkan dengan daging beku. Akibatnya, meski daging kerbau beku cenderung lebih murah dibandingkan dengan daging segar, yakni di kisaran Rp80.000 per kg, harga daging secara umum tetap berada di atas Rp100.000 per kg karena peran daging kerbau sebagai stabilisasi tak berjalan.

“Kalau ingin terjangkau, konsumen seharusnya dapat memilih membeli yang frozen. Namun ini tidak ada di pasar. Semua dicampur oleh pedagang dan pemerintah atas dasar stabilisasi membiarkan ini terjadi. Karena itu kalau kita lihat harga bahan pokok strategis, stabil terus harganya. Namun itu stabil tinggi untuk daging sapi segar,” jelasnya.

Mengutip Survei dari Bank Indonesia DKI Jakarta, Yudi mengatakan kehadiran daging kerbau impor juga menghadirkan segmentasi pedagang daging yang berbeda.

Pada 2019, hanya 19 persen dari pedagang daging yang murni menjual daging sapi lokal. Lalu sebanyak 42 persen menjual daging sapi lokal dan daging kerbau impor, serta 34 persen menjual kombinasi daging sapi lokal dan impor ditambah dengan daging kerbau impor. Adapun 55 persen pedagang mengatakan memilih juga menjual dagin kerbau impor atas pertimbangan margin keuntungan yang lebih besar.

Kehadiran daging kerbau beku yang tak berimbas pada harga daging secara umum juga berpengaruh ke peta pasar daging nasional. Studi yang dilakukan oleh Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) menunjukkan pasar daging sapi segar lokal mulai menunjukkan penurunan saat keran impor daging kerbau India dibuka.

“Kita lihat 2015 daging sapi lokal yang segar pasarnya 60 persen. Namun pada 2019 bisa dikatakan hampir 70 persen dikuasai daging impor. Di 70 persen pasar impor ini pun dibagi dua dengan daging kerbau hampir menguasai sepertiganya. Jadi yang makin terdesak adalah daging segar,” kata Yudi.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)sekaligus Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf mengatakan bahwa kehadiran daging kerbau impor tidak memberikan efek apa-apa terhadap harga. Dia juga menyoroti dampak impor ini terhadap produktivitas sapi lokal yang makin menurun.

“Daging kerbau India yang ditujukan untuk menurunkan harga, karena pendekatan impor ini adalah untuk harga, itu tidak memberikan efek apa-apa. Bahkan harga tetap stabil tinggi dan produktivitas dalam negeri terus turun,” kata Rochadi.

Mengutip studi IPSI, impor daging kerbau dia sebut justru memberi dampak negatif pada usaha peternakan rakyat. Tren produksi sapi lokal tercatat hanya bergerak di kisaran 1,30 persen per tahun dalam kurun 2013 sampai 2018. Sementara pertumbuhan konsumsi berada di level 6,40 persen per tahun dan impor naik 16,20 persen per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper