Bisnis.com, JAKARTA - Johnson & Johnson dan Merck & Co. telah menandatangani kesepakatan yang didukung pemerintahan Joe Biden untuk memperluas produksi vaksin.
Di bawah kesepakatan tiga pihak itu, Merck akan membantu pembuatan bahan vaksin, bahan aktif, dan botol pengisi. Pemerintah akan membayar Merck untuk merombak fasilitasnya sehingga dapat membantu perusahaan lain termasuk J&J dalam produksi. Seorang pejabat AS mengatakan kesepakatan itu pada akhirnya akan mengarah pada ekspor vaksin J&J.
"Biden sangat fokus pada perluasan vaksinasi global, manufaktur, dan pengiriman, yang semuanya akan sangat penting untuk mengakhiri pandemi," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki, dilansir Bloomberg, Kamis (11/3/2021).
Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden mengumumkan administrasinya telah menggandakan pesanan dosis vaksin J&J menjadi 200 juta. Penasihat Biden, Andy Slavitt mengatakan penggandaan pesanan itu berarti bahwa negara itu mengantisipasi kebutuhan yang tidak pasti di masa depan. Meski demikian, hal ini meningkatkan kekhawatiran mengenai kesenjangan vaksin antara negara kaya dan miskin.
Sebagai dua perusahaan farmasi terbesar di dunia, J&J dan Merck telah membangun jaringan manufaktur yang luas untuk melayani pasar global. Keduanya juga memiliki rekam jejak dalam memprioritaskan kesehatan global.
Masing-masing perusahaan telah mengembangkan vaksin virus Ebola, satu-satunya perusahaan obat yang melakukannya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, keduanya mulai membuat vaksin suntikan tunggal yang terjangkau dan dapat dengan mudah disimpan tanpa freezer canggih.
Perusahaan mengatakan terobosan itu akan meringankan rintangan logistik dalam distribusi vaksin ke setiap penjuru dunia. Namun demikian, Merck bekerja sama dengan J&J setelah mengumumkan pada 25 Januari bahwa kandidat vaksinnya sendiri telah gagal dan setelah pejabat administrasi Biden khawatir bahwa produksi J&J tampaknya terlambat dari jadwal.
Ketua dan kepala eksekutif Merck, Ken Frazier, memuji langkah Biden. Padahal sebelumnya, dia telah mengkritik negara-negara yang berusaha menimbun vaksin untuk digunakan warganya sendiri sebelum orang-orang yang rentan secara internasional.
"Menurut saya ada dua masalah besar sehubungan dengan distribusi global. Pertama, kita hidup di masa ultranasionalisme di mana negara-negara ingin mengambil apa pun yang tersedia dan berkata,'saya akan menggunakannya pertama kali untuk populasi saya sendiri, daripada menggunakannya pertama kali untuk populasi global," kata Frazier selama wawancara dengan Harvard Business School pada Juli tahun lalu.