Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat akan melarang masuknya semua produk kapas dan tomat dari wilayah Xinjiang China, di mana dikatakan Beijing menindas minoritas Muslim Uighur.
Langkah tersebut adalah yang kebijakan terbaru dari serangkaian tindakan di mana AS meningkatkan tekanan pada China atas dugaan perlakuan buruk beberapa perusahaan terhadap pekerja.
AS mengatakan pemerintah China telah menahan lebih dari 1 juta orang Uighur, etnis dan agama minoritas lainnya di kamp-kamp pelatiha kerja. Tuduhan itu telah dibantah oleh Kementerian Luar Negeri di Beijing.
"Kerja paksa adalah salah satu bentuk perbudakan modern," kata Penjabat Deputi Sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri Kenneth Cuccinelli, dilansir Bloomberg, Kamis (14/1/2021).
Dia melanjutkan bahwa label 'made in China' tidak hanya menunjukkan asal produk, tetapi juga peringatan bahwa, salah satunya, barang dibuat dengan dugaan kerja paksa.
Penjabat Komisaris Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) Mark Morgan mengatakan barang-barang yang akan ditahan di pelabuhan masuk AS dalam perintah pelepasan pajak atau WRO, setelah penyelidikan termasuk pakaian jadi, tekstil, biji tomat, tomat kaleng, dan saus tomat. WRO juga akan berlaku untuk produk yang diproduksi di negara lain yang menggunakan kapas dan tomat dari Xinjiang.
Baca Juga
"Tindakan tersebut merupakan pukulan bagi industri pakaian AS, mengingat seperlima dari kapas dunia berasal dari kawasan tersebut. AS mengimpor US$9 miliar produk kapas pada tahun lalu dan US$10 juta tomat dari China," kata Brenda Smith, asisten komisaris eksekutif di kantor perdagangan di CBP.
Kementerian Luar Negeri China tidak segera menjawab permintaan untuk mengomentari larangan baru tersebut, tetapi sebelumnya menuduh politisi AS membuat disinformasi yang disebut kerja paksa untuk membatasi dan menindas pihak dan perusahaan terkait di China.
Dalam sebuah pernyataan, American Apparel & Footwear Association (AAFA), National Retail Federation, Retail Industry Leaders Association, dan U.S. Fashion Industry Association meminta CBP untuk membagikan bukti dan ambang batas yang digunakan untuk sampai pada temuannya. Mereka juga meminta lembaga tersebut membagikan informasi penegakan hukum sehingga industri dapat menginformasikan uji tuntas mereka lebih lanjut dan memperkuat serta memperluas upaya penegakan CBP.
"Larangan itu sangat signifikan. Semua perusahaan yang menggunakan kapas dalam rantai pasokan mereka perlu memperhatikan," kata Presiden dan CEO AAFA Steve Lamar dalam tanggapan email atas pertanyaan.
Pada September lalu, CBP mengatakan mereka merencanakan WRO yang mencakup semua produk kapas, tekstil, dan tomat dari wilayah Xinjiang barat laut negara itu. CBP telah mengeluarkan WRO terhadap tiga produsen produk rambut dan garmen berbasis Xinjiang pada 2020.
Pada Desember, Pusat Kebijakan Global yang berbasis di AS menerbitkan sebuah laporan yang menyajikan bukti baru dari dokumen pemerintah China dan laporan media tentang ratusan ribu orang Uighur di Xinjiang yang dipaksa memetik kapas dengan tangan melalui kerja paksa yang diperintahkan negara.
Presiden terpilih Joe Biden menyebut program penahanan massal dan pendidikan ulang China untuk minoritas Uighur di Xinjiang sebagai genosida dan menyerukan upaya internasional untuk bersatu melawan kampanye tersebut.
Lamar mengatakan selain memastikan penegakan hukum, pemerintahan yang baru harus mempertimbangkan pendekatan global untuk menyelaraskan sekutu AS dalam mengakhiri kerja paksa di Xinjiang.
"Ini penting agar menjadi upaya terkoordinasi untuk memastikan bahwa produk yang dibuat dengan kerja paksa tidak dikirim ke China untuk konsumsi domestik atau digunakan di tempat lain di dunia,” katanya.