Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) menyatakaan perbaikan performa industri daur ulang plastik ke posisi pra-pandemi belum akan selesai pada 2021.
Oleh karena itu, asosiasi tidak berharap banyak dari peningkatan investasi di industri daur ulang plastik pada tahun depan.
Ketua Umum Adupi Christine Halim mengatakan pandemi Covid-19 telah memaksa banyak pabrikan melakuan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masal. Adapun, lanjutnya, janji pemerintah dalam membantu kelancaran arus kas pabrikan masih belum terealisasi.
"Kerugian sudah sedemikian rupa. [Kami] sudah dijanjikan [penjaminan] bunga bank [oleh pemerintah], tapi kenyataanya tidak ada. Dampak pandemi Covid-19 sudah menghantam industri sedemikian rupa,"katanya kepada Bisnis, Minggu (27/12/2020).
Selain itu, Christine menyatakan ketersediaan bahan baku industri daur ulang plastik menjadi minim. Christine menduga beberapa penyebab, seperti pengurangan konsumsi dan pegeseran konsumsi jenis produk.
Di samping itu, Christine menyatakan manajemen limbah di dalam negeri masih menghambat perkembangan industri daur ulang plastik di dalam negeri. Adupi mencatat hanya sekitar 30 persen sampah yang diproses, sedangkan 70 persen dari total sampah di dalam negeri tidak diproses kembali.
Baca Juga
"Bahan baku [industri daur ulang] makin langka dan waste management di Indonesia belum pasti. Orang pasti masih pikir 1.000 kali untuk investasi [di industri daur ulang," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah resmi meluncurkan penjaminan pinjaman untuk segmen korporasi non-UMKM dan non-BUMN sebesar Rp100 triliun. Penjaminan kredit korporasi ini mengandeng bank-bank di Tanah Air dengan target kredit sebesar Rp100 triliun hingga 2021.
Dalam program ini, pemerintah menunjuk Lembaga Peminjaman Ekspor-Impor (LEPEI) sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia untuk mejamin risiko loss limit dari jaminan yang disediakan pemerintah.
Sementara itu, jumlah kredit yang dijamin berkisar Rp10 miliar sampai Rp1 triliun. Adapun, bank yang terlibat ada 15 bank yakni BNI, BRI, BTN, Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank DKI, Bank HSBC, Bank ICBC Indonesia, Maybank Indonesia, Bank MUFG Indonesia, Bank Resona Perdania, Standard Chartered Bank Indonesia, UOB Indonesia, BCA, dan Bank DBS.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan dengan adanya insentif berupa penjaminan pembiayaan oleh pemerintah, suku bunga kredit korporasi untuk non-UMKM dan non-BUMN akan mampu ditekan menjadi sekitar 7 persen.