Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan China yangmemperketat importasi pangan beku dari berbagai dunia dengan memberlakukan pengecekan jejak Covid-19 dipandang sebagai salah satu hambatan nontarif.
Kebijakan China ini menimbulkan protes dari sejumlah negara pemasok bahan pangan ke Negara Tirai Bambu ini.
“Bisa jadi ini salah satu strategi China untuk mengurangi impor pangan dan menggenjot permintaan domestik di tengah pelemahan permintaan di dalam negerinya,” kata ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati ketika dihubungi, Senin (7/12/2020).
Mengutip laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), impor China untuk produk perikanan selama 2019 mengalami lonjakan lebih dari 30 persen dengan nilai total US$15,44 miliar dibandingkan dengan 2018. Wabah demam babi Afrika (ASF) yang melanda peternakan babi di Negeri Panda mendorong impor produk protein lain termasuk pada daging sapi.
“Hal ini tidak lepas dari kebijakan penenggelaman kapal pada Menteri KKP sebelumnya yang memang akhirnya memaksa China impor dari Indonesia. Jangan sampai hambatan impor ini diikuti oleh meningkatnya penangkapan ikan ilegal di perairan kita,” lanjutnya.
Menyusul temuan jejak virus corona di produk yang dikirim Indonesia, Enny mengatakan pemerintah harus mengambil pendekatan bilateral. Terutama untuk memastikan pengecekan yang dilakukan China kredibel dari sisi kesehatan dan tidak dilakukan untuk menghalangi aktivitas perdagangan.
“Bisa saja alasan bisnis melatarbelakangi kebijakan ini,” lanjutnya.
Dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) awal November, sejumlah negara dikabarkan memang mempertanyakan keabsahan pengujian yang dilakukan China.
Kanada bahkan menyebut tes nucleic acid pada produk pangan sebagai hambatan dagang yang tidak adil dan mendesak China memberikan bukti saintifik atas kebijakan yang diterapkan.