Bisnis.com, JAKARTA - Rakyat Amerika Serikat (AS) dan dunia pada umumnya tengah menanti hasil kontestasi pemilihan presiden antara kandidat incumbent Donald Trump dengan penantangnya dari Partai Demokrat Joe Biden.
Hasil pilpres di negeri Paman Sam itu sangat dinanti dan mendapat perhatian luas. Pasalnya, siapapun kandidat yang terpilih nantinya bakal menentukan arah dan stabilitas ekonomi, politik, hukum dan keamanan global.
Indonesia, yang belakangan dianggap sebagai mitra strategis Amerika Serikat (AS) juga berharap-harap cemas pada hasil kontestasi tersebut. Kepentingan Indonesia, terutama di bidang ekonomi sangat besar.
Meski sudah bisa bernafas lega, setelah fasilitas generalized system of preferences (GSP) resmi dipertahankan, Indonesia rupanya masih memiliki pekerjaan besar lainnya untuk meyakinkan pemerintah AS terkait skema pajak digital.
AS di bawah pemerintahan Donald Trump memang cenderung menerapkan kebijakan yang lebih berorientasi ke dalam negeri atau istilah bekennya inward looking. Kebijakan ekonominya kerap mengarah ke proteksionisme yang disertau jargon-jargon yang sangat heroik seperti American First dan Make America Great Again.
Arah kebijakan ekonomi Trump yang sangat proteksionis kerap menganggu stabilitas global. Tengok saja peristiwa perang dagang antara AS dan China yang membuat perdagangan global nyaris terguncang atau agresivitas Trump terkait pajak dan pajak digital.
Baca Juga
Salah satu terobosan Trump dalam kebijakan pajak adalah pengesahan tax cuts and jobs act (TCJA) yang memangkas PPh badan dan mengubah rezim pajak AS dari worldwide tax system ke territorial tax system.
Dua kebijakan terakhir ini dijiplak pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan konsep reformasi perpajakan yang terdapat dalam Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang diterbitkan Senin (2/11/2020) lalu.
Di sisi pajak digital, Trump juga sangat berang saat fenomena unilateralis merebak. Ini ditunjukkan dengan langkah sejumlah negara memajaki perusahaan digital asal AS.
Trump tak segan memberikan sanksi balasan dan melalui United States Trade Representative (USTR) dia menginvestigasi skema pemajakan sejumlah negara, termasuk skema pemajakan yang sedang diterapkan Indonesia. Yang dianggap diskriminatif bakal dibalas.
Sikap Trump dan pemerintahannya kelak memberikan ketidakpastian terhadap pemajakan ekonomi digital. Perang pajak atau tax war bisa terjadi. Hal ini pula yang menjadi alasan forum global yang dikomandoi OECD tak kunjung menyelesaikan konsesus pemajakan global selama bertahun-tahun. Membosankan bukan?
Di sisi lain, Biden yang merupakan lawan politik Trump, tentu punya alasan tersendiri. Bisa dibilang Biden memiliki konsep pemajakan yang berbeda dengan Trump. Pada bulan September 2020 lalu, sesaat sebelum debat, Biden berjanji akan menerapkan konsep pemajakan yang lebih adil.
Orang kaya atau konglomerat harus membayar pajak lebih besar. Kebijakan ini kontras dengan Trump yang memilih menarik uang-uang para konglomerat masuk ke dalam negeri dengan tawaran sejumlah insentif. Harapannya uang-uang ini jalan. Berputar di dalam negeri dan mendorong aktivitas ekonomi yang menghasilkan nilai tambah bagi ekonomi AS.
Lalu bagaimana posisi Indonesia?
Apapun perubahan yang terjadi di AS, Indonesia akan terkena dampak perubahan kebijakan dari rezim di AS. Tetapi Indonesia juga memiliki peran yang cukup penting. Apalagi dalam konstelasi di Laut China Selatan. Indonesia bagaimanapun dipandang strategis bagi AS. Persoalannya apakah ini selalu berdampak positif ke ekonomi wabil khusus kebijakan pajak digital Indonesia?
Para pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan belum merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut. Meski kalau dilihat dari statemen Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini bahwa sikap AS sangat menentukan kebijakan pajak digital global, termasuk Indonesia yang dengan sabar dan bijak menunggu konsesus global yang tak kunjung jelas.
Sementara itu, Pakar Pajak DDTC Darussalam mengatakan bahwa perlu diketahui bahwa aspek pajak merupakan salah satu isu yang penting dalam dinamika politik AS.
Dengan demikian, ada kecenderungan-kecenderungan kebijakan pajak tertentu baik dari Partai Republik (Trump) dan Partai Demokrat (Biden). Seperti diketahui bahwa sistem pajak ala Trump sejauh ini lebih berorientasi kepada relaksasi, pro terhadap bisnis, dan cenderung lebih proteksionis.
Di sisi lain, Partai Demokrat umumnya lebih mendorong keadilan dalam sistem pajak dan aktif dalam kerjasama global (keterbukaan).
Terdapat 3 catatan atas kebijakan pajak dalam konteks dinamika politik.
Pertama, Trump memiliki intensi kuat untuk melanjutkan program pajak melalui Tax Cuts & Jobs Act (TCJA) 2.0, sedangkan Biden memiliki posisi bahwa TCJA perlu untuk direvisi karena dirasa tidak adil.
"Sebagai info, dalam TCJA juga terdapat suatu kebijakan domestik untuk mencegah penghindaran pajak (BEAT dan GILTI) yang mana berada di luar kerangka proposal OECD," kata Darusaalam.
Kedua, adanya prinsip kerjasama global yang menjadi agenda Biden agaknya memberikan sinyal bahwa AS akan lebih aktif dalam pembicaraan agenda reformasi pajak internasional, termasuk soal pajak digital.
Namun menurutnya, yang perlu ingat bahwa kehadiran pandemi Covid-19 bisa jadi mendorong adanya upaya untuk lebih mementingkan kepentingan nasional, siapapun presidennya.
"Jadi masih terdapat ketidakpastian apakah keterlibatan atau keterbukaan AS dalam cetak biru pajak digital akan berujung pada persetujuan mereka," tukasnya.