Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PAJAK DIGITAL: Takut Aksi Balasan AS, Sri Mulyani Tunggu Konsesus Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa konsesus merupakan jalan terbaik bagi semua yuridiksi. Pasalnya, konsesus akan memberikan rambu dan prinsip pemajakan yang adil bagi setiap negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat tiba di depan Ruang Rapat Paripurna I untuk menghadiri Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat tiba di depan Ruang Rapat Paripurna I untuk menghadiri Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah rupanya lebih memilih menunggu tercapainya konsensus global dibandingkan dengan menerapkan langkah unilateral untuk memajaki ekonomi digital.

Pilihan ini diambil untuk menghindari aksi retaliasi yang kemungkinan bisa dilakukan oleh Amerika Serikat (AS), meskipun konsensus global baru bisa dicapai pada tahun depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa konsensus merupakan jalan terbaik bagi semua yuridiksi. Pasalnya, konsensus akan memberikan rambu dan prinsip pemajakan yang adil bagi setiap negara.

"Indonesia sudah menyiapkan perangkat peraturannya, tapi agar bisa ada enforcement dan menghindari retaliasi, kami perlu mencapai konsensus tersebut," kata Sri Mulyani, Senin (19/10/2020).

Sri Mulyani menambahkan secara prinsip konsensus global akan menguntungkan Indonesia karena praktik-praktik penggerusan basis pajak (BEPS) yang sangat merugikan pemerintah, bisa dimitigasi melalui pemajakan ekonomi digital dan korporasi multinasional dengan penerapan skema global minimum tax.

Seperti diketahui, OECD dalam publikasi terbarunya mengungkapkan bahwa konsensus terkait pilar 1 Unified Approach dan pilar 2 Global Anti Base Erosion (GloBE) harus diundur sampai pertengahan tahun depan. Padahal target konsensus seharusnya bisa dicapai pada tahun ini.

Indonseia sebenarnya telah memiliki perangkat untuk pemajakan ekonomi digital. Perangkat ini tertuang dalam Undang-Undang No.2/2020 yang substansinya ditujukan untuk memitigasi dampak negatif pandemi Covid-19.

Substansi terkait pemajakan ekonomi digital sesuai UU itu bisa dibagi menjadi 3 skema yakni pemajakan atas pajak penghasilan (PPh), PPN, dan pajak transaksi elektronik. Namun sejauh ini dari tiga substansi tersebut, hanya pemajakan PPN yang telah diterapkan pemerintah. Sementara PTE dan PPh menunggu konsensus global yang makin tak menentu.

Apalagi, belakangan muncul investigasi dari pemerintah Amerika Serikat terkait skema pemajakan ekonomi digital yang akan diterapkan pemerintah Indonesia. Investigasi ini dilakukan untuk menentukan apakah skema pemajakan Indonesia diskriminatif atau tidak.

"Jadi Indonesia tetap mendukung terciptanya konsensus," tukasnya.

Seperti diketahui, ketentuan terkait pengenaan pajak digital diatur dalam UU No.2/2020 tentang penanganan pandemi Covid-19. UU ini  merumuskan tiga jenis pemajakan ekonomi digital. 

Pertama, skema pengenaan PPN bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Kebijakan ini sudah diatur dalam PMK No.48/2020. Pemajakan ini dikenakan kepada pelanggan Netflix, Spotify, gaming online, dan lainnya.

Kedua, pajak penghasilan, pengenaan PPh diberlakukan kepada Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan atau significant economic present

Ketiga, pajak transaksi elektronik atau PTE. PTE dikenakan kepada PPMSE jika pemerintah tidak dapat menarik PPh karena penerapan perjanjian keberadaan tax treaty atau perjanjian pajak dengan negara lain.

Terkait pemajakan ekonomi digital, pada Januari 2019 OECD/G-20 Inclusive Framework BEPS telah menyetujui dan menerbitkan Policy Note yang berisi persetujuan untuk memeriksa dan mengembangkan proposal yang lebih konkret. Proposal ini kemudian diartikulasikan pada dua pilar utama yang saling melengkapi. 

Pertama, fokus pada alokasi hak perpajakan termasuk masalah nexus dengan tiga proposal berbeda yang akan memodifikasi aturan yang ada berdasarkan konsep partisipasi pengguna atau user participation, pemasaran tidak berwujud (marketing intangibles), dan kehadiran ekonomi yang signifikan (significant economic present). 

Kedua mengeksplorasi Global Anti-Base Erosion Mechanism. Kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi risiko lanjutan dari pengalihan laba kepada entitas perpajakan yang sangat rendah.

Ketiga proposal tersebut secara praktis mengalokasikan lebih banyak pajak hak atas yurisdiksi pasar atau dengan kata lain menguntungkan negara seperti Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper