Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab kekhawatiran Komisi XI DPR terkait pelaksanaan protokol Asean Framework Agreement on Services atau AFAS Ke-7.
Menkeu menjelaskan bahwa sejak krisis pada tahun 1997 - 1998 pasar keuangan di Indonesia sebenarnya sudah sangat terbuka dan bahkan lebih maju dibandingkan sebagian negara di Asean. Dengan demikian, keberadaan AFAS, sebenarnya menjadi peluang bagi pelaku jasa di dalam negeri.
"Saya jelaskan tadi bahwa setelah 1997 - 1998 industri keuangan kita sudah terbuka, bahkan sebelum kita melakukan ratifikasi," kata Sri Mulyani, Senin (5/10/2020)
Sri Mulyani mencontohkan bahwa beberapa negara yang terlibat dalam AFAS juga melakukan hal yang sama dengan Indonesia. Malaysia, misalnya, mereka akan membuka perdagangan lintas batas untuk produk asuransi terkait kegiatan ekspor dan impor, bahkan meningkatkan batas kepemilikan asing dari 70 persen menjadi 100 persen.
Singapura juga membuka perdagangan lintas data untuk produk Asuransi terkait kegiatan ekspor dan impor, Thailand akan membuka kesempatan bagi penyedia jasa Asean untuk membuka perusahaan asuransi umum, Brunei membuka perdagangan untuk lintas batas produk asuransi terkait kegiatan ekspor impor.
Negara lain, seperti Kamboja, akan membuka kesempatan bagi penyedia jasa Asean untuk membuka perusahaan sekuritas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan Laos akan membuat ketentuan bagi penyedia jasa Asean untuk membuka perusahaan pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Baca Juga
"Jadi dalam hal ini mereka akan membuka setiap tahapan dari komitmen ini," jelasnya.
Adapun melalui komitmen protokol ke 7, Indonesia menegaskan pemberian izin kepada investor Asean untuk membuka jasa asuransi umum baik konvensional maupun syariah dengan batas kepemilikan asing sebanyak 80 persen.
Namun, langkah ini mendapat sorotan DPR yang menganggap protokol ini akan membenamkan industri asuransi domestik.