Bisnis.com, JAKARTA - Ancaman resesi sudah di depan mata. Ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga tahun ini diperkirakan akan terkontraksi pada kisaran -2,9 persen hingga -1,0 persen.
Artinya, ekonomi Indonesia akan memasuki fase resesi karena secara dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi tercatat negatif. Pada kuartal II/2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah negatif 5,32 persen.
Sementara itu, untuk keseluruhan 2020, ekonomi diperkirakan akan terkontraksi pada kisaran -1,7 hingga -0,6 persen. Sebelumnya, pemerintah memproyeksikan masih ada kemungkinan ekonomi Indonesia akan mengarah ke pertumbuhan positif.
Lantas, apakah ekonomi Indonesia juga akan terancam mengarah ke fase depresi?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan depresi ekonomi merupakan resesi yang terjadi selama satu tahun lebih.
Depresi ekonomi terjadi jika kontraksi ekonomi terus berlanjut. Dampaknya tentu lebih besar dari resesi. Depresi pernah tercatat dalam sejarah, terjadi pada 1929-1934, di mana great depression berlangsung hingga 5 tahun.
Untuk saat ini, Bhima mengatakan beberapa lembaga internasional sudah memprediksi kontraksi ekonomi yang terjadi di banyak negara di dunia karena terpukulnya ekonomi akibat pandemi Covid-19 dapat mengarah ke depresi.
"WTO dan IMF sebelumnya sudah memberi sinyal bahwa kontraksi ekonomi tahun 2020 dapat mengarah pada depresi ekonomi, dilihat dari turunnya volume perdagangan global dan turunnya aktivitas industri dan volatilitas yang tinggi di pasar keuangan," jelas Bhima, Kamis (24/9/2020).
Dilansir melalui Huffington Post, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2020 akan terkontraksi pada kisaran -3 persen. Resesi ini merupakan yang terburuk sejak tahun 1930-an.
Resesi yang terjadi di dunia kali ini memiliki sifat yang lebih unik, yaitu segmen utama ekonomi secara sengaja ditutup karena krisis kesehatan masyarakat, sehingga sulit diprediksi apakah resesi akan mengarah ke depresi.
Bhima mengatakan, dampak yang terlihat dari resesi adalah terjadinya PHK yang masif di hampir seluruh sektor, termasuk fenomena pekerja yang dirumahkan tanpa digaji.
Jika depresi terjadi, bukan hanya PHK massal, tetapi juga terjadi kebangkrutan massal di sektor industri secara permanen, bukan temporer. Kemudian, indikator depresi adalah terjadi deflasi yang cukup dalam, di mana harga barang tidak naik melainkan menurun.
"Jadi sebagai perbandingan, tahun 1998 inflasi mencapai 70 persen, tahun 2008 inflasi 11 persen, dan tahun 2020 beberapa bulan justru yang terjadi adalah deflasi seperti pada bulan Juli -0,1 persen dan agustus -0,05 persen," katanya.
Lanjut Bhima, deflasi di tengah situasi resesi ini mengindikasikan sisi permintaan mengalami gangguan, sehingga produsen dan pedagang tidak menaikkan harga, justru menjual dengan harga diskon, khususnya bahan pangan.