Bisnis.com, JAKARTA — Harga rata-rata bawang putih di tingkat nasional memperlihatkan kenaikan dalam beberapa pekan terakhir. Kondisi ini pun diamini kalangan importir.
Berdasarkan laporan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga bawang putih pada pekan ketiga September menyentuh Rp26.750 per kilogram (kg), padahal harga bawang putih sempat menyentuh Rp22.650/kg pada pekan pertama Agustus 2020. Harga rata-rata ini pun menjadi yang tertinggi sejak akhir Juni 2020.
Ketua Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) Mulyadi mengatakan bahwa kenaikan harga bawang putih telah dirasakan sejak pemerintah mengakhiri relaksasi impor pada 31 Mei.
Dia menyebutkan bahwa harga bawang putih di tingkat distributor di Pulau Jawa telah mencapai Rp16.000 per kilogram dari yang mulanya Rp11.000 per kilogram.
“Sebelum Juli masih di kisaran Rp11.000 sampai Rp14.000 per kilogram, sekarang sudah Rp16.000 per kilogram. Di luar Pulau Jawa juga ada perbedaan karena tata niaga dan distribusi,” kata Mulyadi saat dihubungi, Selasa (22/9/2020).
Mulyadi menduga kenaikan harga ini juga disebabkan oleh belum keluarnya rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian dan surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.
Baca Juga
Menurutnya, hal ini memicu stok di gudang importir semakin berkurang sehingga memengaruhi pasokan ke pasar.
“Izin yang belum keluar ini memengaruhi harga karena stok di importir berkurang, sedangkan saat relaksasi kemarin otomatis harga jatuh karena pasokan besar,” tuturnya.
Hal senada dikemukakan pula oleh Ketua II Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Valentino. Dia menyebutkan bahwa sejauh ini terdapat 17 anggota Pusbarindo yang belum mengantongi SPI dari Kemendag meski sudah mendapatkan RIPH. Jika SPI terlambat, keberlangsungan bisnis importir dikhawatirkan bakal terganggu.
“Jika izin impor baru terbit Oktober, artinya kami hanya punya waktu 2 bulan untuk merealisasikan impor karena SPI hanya berlaku sampai 31 Desember,” kata Valentino.
Dia pun menyebutkan bahwa tak semua importir dapat merealisasikan importasi sesuai dengan SPI secara langsung karena keterbatasan kemampuan. Dalam berbagai kasus, importir biasanya akan mengimpor secara bertahap.
“Beberapa ada yang mengimpor sekian ratus ton dulu dari SPI, ketika uangnya sudah berputar baru kembali impor. Jadi, tidak semudah itu langsung mengimpor dalam jumlah besar,” ujar Valentino.
Keterlambatan SPI pun disebutnya bisa memicu persaingan yang tak sehat di pasar dalam negeri. Dalam kasus banyak importir yang melakukan pemasukan pada suatu periode waktu, pelaku usaha akan memperebutkan pasar dengan kebutuhan 40.000 ton per bulan.
“Mungkin karena pandemi pasar tinggal 30.000 ton, jika semua importir melakukan impor dan jual barang ke pasar, harga akan jatuh, terjadi perebutan pasar,” katanya.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor bawang putih selama Januari—Juli 2020 mencapai 335.229 ton.
Sementara itu, prognosis yang ditetapkan Kementerian Pertanian mematok kebutuhan impor sepanjang 2020 sebanyak 616.698 ton dengan sisa stok akhir 176.457 ton.
Adapun, RIPH yang sejauh ini telah diterbitkan Direktorat Jenderal Hortikultura mencapai 1,07 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 299.324 ton RIPH telah dicabut karena kedaluwarsa sehingga menyisakan 777.818 ton.