Dalam beberapa pekan terakhir, terjadi polemik tentang keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama peranannya dalam mendukung upaya pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional dari dampak pandemi Covid-19.
Isu yang muncul kepublik adalah adanya kendala pemerintah melakukan koordinasi dengan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengambil keputusan cepat dalam upaya pemulihan ekonomi. Tampaknya, OJK diharapkan mengambil peranan yang lebih besar dalam situasi sekarang ini.
Pemerintah mengklaims udah berbuat banyak dari sisi fiskal, yaitu memperlebar defisi APBN 2020 dari 1,76 persen PDB menjadi 6,34 persen melalui Perpres 72/2020. Sementara itu, Bank Indonesia ambil bagian membiayai APBN melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Kemudian, muncullah kabardari Senayan, bahwa DPR RI menggunakan hak inisiatifnya melakukan perubahan kedua atau revisi UU 23/1999 tentang Bank Indonesia. Salah satuperubahan yang akan dilakukan adalah mengembalikan fungsi pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia.
Padahal, berbeda dengan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, OJK tidak dapat ikut membiayai APBN dengan cara mengeluarkan uang. OJK juga tidak bisaserta-merta menekan perbankan agar meningkatkan penyaluran kredit, meskipun pemerintah mensubsidi bunga dan menambah porsi penjaminan kredit.
Pertumbuhan kredit perbankan sangat dipengaruhi oleh pergerakan sector riil. Contohnya, pengusaha restoran atau pariwisata tidak akan mau menarik kredit dari perbankan jika bisnis belum berjalan, meskipun bunganya rendah.
Inia dalah realita yang harus dihadapi dari sisi perbankan karena krisis yang terjadi saat ini adalah karena ada penghentian besar-besaran kegiatan ekonomi di hamper semua sektore, tidak hanya di Indonesia, tetapi dunia, akibat serangan Covid-19. Akibatnya, sector riil butuh subdisi dan dukungan sebelum bangkit kembali, melakukan ekspansi bisnis dan kembali mengajukan kredit ke bank.
OJK tak Bekerja Konkrit?
Di tengah kondisi sulit ini, OJK terus menunjukkan upaya mendukung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) 1/2020 yang sudah menjadi UU 2/2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
OJK menginisiasi restrukturisasi kredit dan pembiayaan. OJK mendukung kebijakan memberikan kelonggaran bagi industri jasa keuangan dengan memangkas tambahan cadangan kerugian atas kredit bermasalah.
OJK mendukung program subsidi Bunga bagi UMKM dan Sektor Informal dengan memanfaatkan SLIK, serta mendukung program penyediaan ruang likuditas yang memadai untuk menopang kebijakan pemerintah dalam memberikan stimulus bagi sektor rill.
Untuk mempercepat program pemulihan ekonomi nasional, langkah OJK menjaga stabilitas keuangan akibat pandemi global, memperpanjang berbagai program yang telah dilakukan untuk pemulihan ekonomi nasional dari kuartal 1/2020 hingga Desember 2020 OJK juga mempercepat proses usulan baru berbagai kluster, memastikan program agar lebihefektif, sertamempercepat proses birokrasi program.
Sebagai langkah konkrit, OJK telah menginsiasi langkah konkrit dengan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19.
OJK melakukan restrukturisasi kredit sebagai insentif bagi debitur, perbankan atau perusahaan pembiayaan.
Debitur mendapatkan fasilitas relaksasi penundaan cicilan kredit jika memiliki palfon kredit di bawah Rp10 milliar hingga Juli 2020. Kebijakan ini bias diperpanjang sampai tahun 2021. Lebih dari Rp100 triliun modal perbankan diselamatkan dari kebijakan ini periode Maret hingga Juni 2020.
Kemudian, hingga 26 Agustus 2020 sebanyak 182 perusahaan pembiayaan sudah menjalankan restrukturisasi pinjaman untuk 4,52 juta debitur senilai Rp176,3 triliun.
OJK juga menerbitkan kebijakan untuk meringankan pinjaman usaha mikro yang terhimpun di Lembaga Keuangan Mikro (LKM) senilai Rp20,79 miliar dari 32 LKM, serta Bank WakafMikro (BWM) senilai Rp1,73 miliar untuk 13 BWM.
Hasilnya sejauh ini, rasio modal (CAR) perbankan hingga Mei 2020 naik menjadi 22,16 persen dari 22,13 persen pada April. Kebijakan baru OJK juga mampu menjinakkan NPL perbankan nasional di bawah 3 persen, dan NPL perusahaan pembiayaan nasional di bawah 4 persen.
Kondisi yang paling penting adalah sistem keuangan Indonesia relative stabil. Pertumbuhan kredit perbankan 5,73 persen year-on-year per Mei 2020, piutang pembiayaan perusahaan tumbuh sebesar 0,8 persen year-on-year, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 8,08 persen, premi asuransi Rp15,7 triliun dan penghimpunan dana di pasar modal Rp32,6 triliun.
Dari pasar saham, hingga 30 Juli 2020, pasar saham dan pasar SBN menguat dan IHSG naik sebesar 4,98 persen mtd dan yield rata-rata SBN turunsebesar 33,2 bps mtd.
OJK juga mendukung program pemerintah mengeluarkan skema penjaminan kredit UMKM dan korporasi, serta program penempatan dana pemerintah ke industry perbankan untuk mendukung penyaluran kredit kepada UMKM dan Korporasi Padat Karya yang akan dapat mempercepat bergeraknya aktivitas dunia usaha.
Laporan sementara penggunaan dana pemerintah yang ditempatkan di Bank Himbarasampaidengan 27 Juli dengan alokasi Rp30 triliun telah terealisasi Rp49,7 triiiun (165,5 persen terhadap alokasi dana atau 41,1 persen dari target distribusi 121 triliun).
Dari sisi peran meningkatkan literasi keuangan, OJK menggandeng para Influencer dan Youtuber. Inklusi keuangan Indonesia terus meningkat dari 67,8 persen di 2016 menjadi 76,1 persen pada 2019. Literasi keuangan naik dari 29,7 persen menjadi 38,03 persen.
Dari kinerja dan kredibilitas organisasi, OJK telah meraihber bagai pengakuan di kancah global, antara lain Global Inclusion Award 2017 se-Asia Pasifikdari Child and Youth Finance International (CYFI) dan Pemerintah Jerman. Top Ranking Performers Award kategori Contact Center and Customer Engagement Best Practices 2019 dari Contact Center World.
Seiring dengan wacana pengembalian fungsi pengawasan perbankanke BI, sejumlah kasus yang sebenarnya terjadi jauh sebelumpandemi Covid-19, semakin mengemuka.
Badan PemeriksaKeuangan (BPK) menemukanada tujuh Bank menggunakan fasilitas modal kerja debitur dan menghapusbukukan kredit. OJK dinilai tidak memberikan rekomendasi terhadap bank yang seharusnya melakukan koreksi pada kinerja keuangannya.
Namun, OJK telah melakukan pemeriksaan untuk kasus yang samamulaitanggal 6 Agustus 2019 hingga 31 Desember 2019, sedangkan BPK menyelesaikan pemeriksaan OJK tanggal 2020.
Selanjutnya, muncul juga kasus keterlibatan pejabat OJK dalam kasus Asuransi Jiwasraya. Padahal, Jiwasraya sudah mengalami persoalan keuangan sejaktahun 2004, ketika OJK belum lahir, Kasus ini justru berusaha mencari jalan keluarnya di masa OJK.
OJK terbuka dan mendukung pemeriksaan dan proses hokum pengawas yang terlibat. Namun, ibarat pelanggaran yang dilakukan oknum polisi, tidak berarti harus membubarkan lembaga Kepolisian bukan?
Membubarkan atau merombak fungsi OJK akibat pelanggaran di dalam organsiasi, tentu tidak tidak menyelesaikan masalah, bahkan bias mengalihkan dari persoalan utama.
Stabilisator Sektor Jasa Keuangan
OJK memiliki peranan penting menjaga stabilitas keuangan, terutama dalam kondisi krisis sector riil saat ini. Peranan ini dapat dilihat dengan membandingkan aset yang diawasi dengan aset negara. OJK mengawasi industri jasa keuangan dengan total asset Rp 11.000 triliun, jauh di atasaset negara yang mencapai Rp6.300 triliun.
Selama delapan tahun pertama, tidak ada krisis keuangan dan perbankan dalam keadaan sehat adalah sebuah indicator bahwa stabilitas sector jasa keuangan terus terjaga. Sehingga, peran industri jasa keuangan terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat semakin kuat, melalui program inklusi keuangan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja, telah memberikan apresiasi terhadap OJK sebagai salah satu dari lima lembaga di Indonesia yang menerapkan manajemen anti suap dengan baik. OJK juga satu-satunya lembaga di lingkup Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang menerima apresiasi ini dari KPK.
Perombakan fungsi sebuah otoritas sector jasa keuangan yang memegang peranan strategis perekonomian nasional, pasti akan memicu ketidakpercayaan investor, pelaku pasar keuangan, dan masyarakat terhadap industri jasa keuangan secara umum.
Hal ini akan dinilai terburu-buru, sebab kondisi perekonomian Indonesia sedang terpuruk karena pandemi Covid-19. Bahkan, memiliki potensi timbulnya kepanikan di masyarakat dan menggoyahkan kepercayaan di sector keuangan nasional.
Perubahan fungsi yang dijalankan pada krisis ekonomi dan krisis pandemic menimbulkan persepsi nasabah dan investor bahwa kondisi keuangan sangat gawat darurat. Kepanikan di pasar keuangan dapat membuat penarikan uang besar-besaran dari pasar domestik.
Selainitu juga, BI harus beradaptasi jika pengawasan OJK dialihkanke BI, sehingga membuat kebijakan menjadi tidak efektif.