Bisnis.com, JAKARTA — Tingkat kredit macet atau non-performing loan (NPL) dari perbankan dan perusahaan pembiayaan diperkirakan meningkat setelah pandemi berakhir.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyampaikan bahwa level NPL perbankan dan perusahaan pembiayaan yang terjaga saat ini lebih ditopang oleh relaksasi yang diberikan pemerintah.
Adapun, pemerintah akan memperpanjang mekanisme restrukturisasi kredit tersebut hingga 2022 untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Sebelumnya, Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 hanya berlaku dalam jangka satu tahun.
“Perpanjangan relaksasi yang harus diwaspadai ketika 2022, di situlah NPL baru naik karena kecenderungan belum tentu perusahaan yang diberi restrukturisasi itu sudah punya kemampuan atau memang mereka seterusnya sudah tidak punya kemampuan,” kata Aviliani dalam Diskusi Online Indef, Kamis (27/8/2020).
Aviliani melanjutkan bahwa saat ini tren permintaan relaksasi kredit masih berlangsung hingga saat ini. Setelah sektor UMKM yang terpukul lebih dulu, kini giliran korporasi berukuran menengah yang akan meminta relaksasi kredit karena cadangan dana ternyata tidak mencukupi hingga pandemi berakhir.
Baca Juga
Usaha menengah tersebut dinilai tidak semuanya dapat bertahan hingga pandemi berakhir. Apalagi, perusahaan yang tidak ikut memperbarui diri dengan digitalisasi.
“Kalau perusahaan tidak siap berubah, kalau diberi restrukturisasi ini akan jadi kredit macet,” tunjuk Aviliani.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan per Juli 2020, restrukturisasi kredit di perbankan telah mencapai Rp776,99 triliun yang terdiri dari UMKM senilai Rp328 triliun dan non-UMKM senilai Rp448,3 triliun.
Dari perusahaan pembiayaan, realisasi restrukturisasi yang disetujui senilai Rp148,7 triliun.